Ada satu lagi
komunitas unik anak muda Lombok yakni Komunitas Rasta-mania. Mereka adalah
kumpulan para penggemar musik Jamaica. Atributnya adalah rambut gimbal, dengan
atau tanpa tambahan assesories berupa gelang tangan dan kaki, kalung, dan baju
merah-kuning-hijau. Rastamania ini datang dari generasi, kelamin, latar
belakang pendidikan, dan ekonomi yang sangat variatif. Dengan semboyan
"Sama Rasa, Sama Rata, Sama-sama Rasta" mereka bisa berbaur satu sama
lain dalam satu kegilaan musik reggae dan tentu saja Bob Marley.
Demam reggae
bisa jadi merupakan sebuah fenomena sosial yang menarik untuk dikaji mengingat
perkembangannya yang luar biasa pesat. Komunitas rasta sedang demam melanda
remaja pulau Lombok, meskipun sebenarnya, anggota komunitas ini tidak hanya
dari para remaja, melainkan juga para dewasa yang sudah masuk club the forties.
Di kota Mataram saja terdapat tidak kurang dari 20 gank rasta dengan jumlah
anggota ribuan. Sifat keanggotaan biasanya terbuka. Syarat menjadi anggota juga
tidak ribet. Setelah menjadi anggota komunitas, tidak ada kewajiban finansial
atau moral yang harus dipegang teguh. Cukup dengan kesamaan hoby dan keinginan
tentang musik rastafari. Meskipun begitu, ada konvensi yang harus ditaati oleh
setiap orang yang ingin bergabung dalam komunitas, yakni siap sama rasa dan
sama rata dengan anggota lain. Hal ini menyebabkan anggota gank rasta bersifat
cair dan selalu bertambah, sesuai dengan suasana kelompok dan kecocokan jiwa
mereka yang mau bergabung ke dalamnya. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab
kenapa komunitas rasta juga bermacam-macam. Ada kelompok yang anggotanya
terdiri atas remaja tanggung usia 13 sampai 20-an. Ada yang terbentuk karena
sama-sama memiliki kesukaan terhadap jenis kendaraan tertentu. Meskipun begitu,
identitas rastafaria tetap sama yakni rambut gimbal, warna merah-kuning-hijau.
Menjamurnya
kelompok pemuja musik latin saat ini di Lombok mungkin tidak pernah dibayangkan
sama sekali oleh sang Legenda, Bob Marley, ketika menyebarkan pesan kebebasan
dan perdamaian lewat lagu-lagunya dalam kurun waktu kurang lebih 18 tahun
(1963-1981). Pada akhir tahun 80-an, penggemar musik reggae hanya mahasiswa
pergerakan dan musikus reggae. Saat itu tidak ada komunitas yang jelas tentang
rastafarian. Pemain musik reggae di club malam di Senggigi hanya sekedar
memainkan musik dan mengikuti gaya berpakaian dan rambut gimbal sang Legenda.
Mereka kadang terkesan eksklusif dengan dunianya sendiri.
Di sisi lain,
para mahasiswa pergerakan menyukai musik yang sama dan mencoba menghayati
lirik-lirik yang ada pada lagu Bob Marley and the Wailers. Lagu-lagu yang
menggugah ke arah perbaikan nasib para budak dan mereka yang tertindas.
Lirik-lirik yang menyuarakan perasaan mereka yang terjajah dan ingin memperoleh
kebebasannya dalam persamaan hak. Meskipun para mahasiswa ini juga menyukai
musik Jamaica, tapi mereka tetap rajin kuliah sambil terus melakukan
gerakan-gerakan yang tidak jarang bersinggungan dengan penguasa Orde Baru.
Meskipun sama-sama menyukai musik reggae dan mengidolakan Bob Marley, kedua
kelompok ini tidak pernah bertemu dan nongkrong bersama.
Lirik-lirik lagu Bob Marley yang penuh gelora perjuangan tentang kebebasan dan
persamaan menjadi semacam goal spirit
bagi anak-anak muda penganut rastafaria dalam pencarian jati diri yang penuh
perjuangan. Mereka tidak mau terikat sistem di keluarga, lingkungan, maupun
sekolah. Simak saja penggalan lirik Babylon System oleh Bob Marley berikut ini:
We refuse to be
What you wanted us to be;
We are what we are:
That's the way (way) it's going to be. If you don't know!
You can't educate I
For no equal opportunity:
(Talkin' 'bout my freedom) Talkin' 'bout my freedom,
People freedom (freedom) and liberty!
Saya mencoba
berbincang dengan salah satu komunitas rasta yang punya base camp di Mavilla.
Dari perbincangan tersebut saya tahu bahwa rata-rata mereka merasa gamang
dengan keadaan masyarakat yang sangat jauh dari ideal. Mereka merasa apa yang
terjadi sekarang adalah sebuah paradox terhadap apa yang seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, mereka menjadi skeptis terhadap nasihat-nasihat moral,
terutama yang datang dari orang-orang yang bukan merupakan anggota komunitas.
Tentu saja hal ini menjadi berbahaya ketika kepercayaan mereka terhadap teman
lebih besar dibanding terhadap orang tua, guru, tokoh agama, dan tokoh
masyarakat mereka.
“Anak muda kurang ajar, wajar. Orang
tua kurang ajar, perlu dihajar.” Begitulah kata-kata yang meluncur dari si
Benjo, 16 tahun, yang mengaku menjadi rastamania sejak 2 tahun yang lalu. Dia
merasa kesal dengan pelajaran moral yang
didapatkan di rumah atau di sekolah tapi pada kenyataannya mereka yang sering
menasihati itu yang sering melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan apa
yang diajarkan. Itulah sebabnya menurut Benjo, begitu dia dikenal di kalangan
para rasta Lombok Timur, "saya senang berada di lingkungan rambut gimbal karena dengan itu dia
bisa hidup apa adanya."
Benjo tidak sendiri. Mail dari
kelompok Reggae-reggae juga berpendapat seperti itu. Kumpul bersama
rastafarians yang lain menjadi kebutuhan. “Tidak bertemu sehari saja, maka saya
akan merasa gelisah,” demikian Mail. Bertemu dengan teman senasib membuat hidup
menjadi lebih bermakna. Mail dianggap menjadi pemimpin di kelompoknya meskipun
secara formal tidak ada pengurus organisasi yang jelas. “Tidak ada yang mau
mendengar saya di rumah. Mereka menganggap saya masih kecil,” tutur Mail yang
sekarang di tahun pertama sekolah menengah di Mataram. Saya bertemu Mail dan
kawan-kawannya ketika mereka menjenguk Azis the reggaeman yang masuk rumah
sakit gara-gara kecelakaan lalu lintas. Menurut orang tua Azis, anak-anak rasta
ini menjenguk temannya setiap hari. Mereka datang ramai-ramai, memberi dukungan
kepada temannya yang sakit. Keliatan
sekali kalau mereka berempati terhadap penderitaan temannya yang sedang
mendapat musibah.
Ternyata ikatan emosional pada orang-orang
yang merasa senasib sangat kuat. Kita tahu ada beberapa orang yang mau
berkorban untuk orang lain karena mereka saudara sekandung. Ada juga yang
solidaritasnya terbentuk karena mereka satu kampung, satu suku, satu negara,
satu ideologi, atau satu agama. Di antara dasar-dasar solidaritas itu, saya
bertanya-tanya, yang mana yang lebih kuat? Kalau ditinjau secara theologi, tentu saja
persaudaraan agama haruslah lebih kuat dari bahkan persaudaraan nasab. Tetapi
orang memiliki kepentingan dan karakternya sendiri-sendiri.
Keteladanan para tokoh dari hulu
sampai hilir dan juga orang tua sangat dibutuhkan oleh remaja kita. Tapi sayang
sekali itu tidak mereka dapatkan di sekeliling mereka. Oleh karena itu remaja yang sedang mencari
jatidirinya lebih mendapatkan apa yang mereka cari di lingkungan komunitasnya
dibandingkan di sekolah, bahkan di rumah atau lingkungan rumahnya.
Menjadi bagian dari sebuah komunitas
menjadi kebutuhan masyarakat modern yang semakin lama semakin individualistis.
Hidup yang materialis dan kapitalis membuat kita menjadi jauh dari satu sama
lain. Ketika orang tua dan saudara menjadi orang lain bagi mereka, maka
kebutuhan mereka akan teman yang senasib menjadi semakin besar. Tidak heran
kalau pengaruh teman ini menjadi lebih kuat dibandingkan dengan nasihat guru,
tuan guru, atau bahkan orang tua yang mereka lihat dalam kehidupan
sehari-harinya jauh dari nilai-nilai yang mereka ajarkan.
Hal ini
terkadang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sudah
menjadi pengetahuan umum, bahwa komunitas rambut gimbal tidak jauh-jauh dengan
minuman keras dan ganja. Hal ini bisa menjadi pintu masuk bagi para pengedar
untuk memperluas pasar mereka ke anak-anak di bawah umur, mengingat gank rasta
mania ini kebanyakan anggotanya adalah anak-anak di bawah umur. Para pemuja Bob
Marley ini ada yang merasa bahwa mereka belum menjadi rasta-man sejati kalau
belum pernah "nyimeng". Bahkan dalam beberapa lirik lagu reggae
lokal, dengan eksplisit diperkenalkan benda-benda terlarang macam ganja dan
narkoba yang seolah menggambarkan berapa dekat mereka ini dengan barang-barang
tersebut. Meskipun kebanyakan dari mereka tidak sanggup membeli, tapi selalu
saja ada angota lain yang kebetulan memiliki benda terlarang tersebut -dengan
alasan harus sama rasa, sama rata- selalu siap berbagi. Dan dengan itu
mereka rentan terhadap godaan pelanggaran hukum dan norma agama.
Ketika hal ini saya konformasikan kepada para rastafarian yang sedang berkumpul di selasar rumah sakit itu, secara tidak langsung mereka mengiyakan permasalahan ini. Tetapi ketika saya ingin tahu lebih banyak lagi, mereka menghindar dan tidak mau melanjutkan interview kalau saya masih bertanya masalah itu.
Oleh karena itu, bila hal ini
dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, tidak mustahil kondisi seperti ini akan
menjauhkan mereka dari keluarga, sekolah, dan karakter mereka sebagai orang
Indonesia. Harus ada ada gerakan massive yang mengembalikan anak-anak ini
kepada keluarga dan sekolah, mengembalikan peran tokoh agama dan tokoh
masyarakat yang memberikan teladan hidup kepada masyarakat di sekitarnya. Jika
tidak, kita boleh khawatir, satu generasi ke depan, anak-anak kita akan lebih
mengenal Bob Marley daripada Agus Salim, Natsir, atau Salahuddin al Ayyubi. Yang artinya, kita
sedang menonton bangsa kita menuju kehancuran seiring dengan makin rancaknya tepukan
Jimbe.
Keteladanan adalah kata kunci yang
hilang dari generasi pendahulu kita.
You can fool some people some times
But you cannot fool all people all the
time
Now you see the light,
Stand up for your right.
Come on and get up stand up.
(Get up Stand Up - Bob Marley and the Wailers)