Suatu hari saya mendapat surat undangan untuk menghadiri rapat wali murid di sekolah anak saya. Di surat undangan itu tertera maksud surat: membahas pembangunan gerbang sekolah. Di dalam surat itu juga dijelaskan bahwa materi yang akan dibahas ini sudah terlebih dahulu dibahas dan disetujui oleh rapat pendahuluan yang melibat para guru, kepala sekolah, dan komite sekolah.
Membaca surat undangan itu membuat saya teringat beberapa tahun yang lalu, ketika ide itu dilontarkan pada rapat wali murid, saya selalu menolak ide tentang pembangunan gerbang. Alasan saya adalah, gerbang yang bagus, tidak mempunya korelasi langsung ataupun tak langsung dengan kualitas pengajaran yang akan meningkatkan kualitas belajar anak, dan akan meningkatkan kualitas pendidikan secara makro. Saya katakan juga, sebagai orang tua, saya tidak berkeberatan mengeluarkan dana untuk insentif guru-guru, misalnya. Karena saya tahu ada beberapa orang guru yang masih status honorer. Dengan memberikan insentif lebih kepada guru dengan harapan, mereka akan lebih bersemangat mengajar.
Sekarang, surat undangan sudah saya terima. Saya bertanya-tanya: untuk siapa sebenarnya pembangunan gerbang sekolah itu? Apakah untuk prestasi siswa, atau hanya untuk prestige kepala sekolah atau guru-guru yang merupakan perpanjangan tangan pegawai dinas P & K?
Sudah menjadi pemandangan umum bahwa setiap Sekolah Dasar di Lombok Timur yang mendapatkan BOS dan bantuan dari ADB, memiliki gerbang-gerbang yang megah. Tapi kita tahu juga bahwa beberapa sekolah yang memiliki gerbang yang megah, dengan pavin block di seluruh halamannya, memulai belajar jam 9 pagi dan kerap pulang jam 11 pagi. Saya tidak naif mengatakan semua sekolah seperti itu, tetapi ada sekolah yang begitu. Untuk apa gerbang yang megah kalau tidak mengubah paradigma belajar dan mengajar di sekolah itu? Tidak membawa semangat perubahan sama sekali. Hanya kebanggaan mengatakan, "Saya memiliki gerbang sekolah yang megah." Saya juga tahu beberapa guru yang sekolahnya memiliki gerbang megah itu lebih memikirkan bisnis-bisnis sampingannya daripada memikirkan inovasi mengajar, karena tuntutan zaman tidak lagi mengizinkan guru ke sekolah "naik sepeda ontel" tanpa mendapat ejekan dari murid-muridnya yang naik motor merek dan type terbaru.
Saya mencoba melihat ke sekolah tempat saya bekerja, yang panitia PSBnya diperiksa kejaksaan, karena menerima siswa yang memaksa masuk bagaimanapun caranya. Entah bagaimana hasil pemeriksaan itu. Tapi yang mengejutkan adalah, pegawai kejaksaan yang memiliki bayaran yang jauh lebih tinggi dari para guru menganjurkan untuk mengurangi honor para guru. Haaaah? Ini bener-bener keblinger. Mereka tidak mempermasalahkan rencana pembangunan lapangan tenis yang saya tidak tahu untuk siapa dan untuk apa, kecuali kebanggaan mengatakan, " Hanya sekolahku di kota ini yang memiliki tennis court." Mereka mempermasalahkan honor satu bulan seorang guru yang jumlahnya masih lebih kecil jika dibandingkan SPPD mereka dengan jarak perjalanan 2 km.
Kembali kepada undangan itu, saya menghubungi beberapa teman wali murid meminta pendapat mereka tentang undangan itu. Jawabannya senada, “Untuk apa, Pak Guru? Kalau sudah ada gerbang yang memadai kenapa harus membangun yang megah? Kami ingin anak kami pintar. Kalau guru-guru butuh tambahan honor, kami tidak keberatan menambah beberapa rupiah. Tapi membangun gerbang? Anak-anak kami sudah biasa merunduk masuk ke dalam rumah karena gubuk kami berpintu sangat rendah.”
Well? Pembangunan sekolah untuk siapa dan untuk apa?
Kamis, 27 November 2008
Rabu, 26 November 2008
Cinta Adalah Sebuah Kekeliruan Logika (3)
Sebuah Essay dari Max Shulman, dengan judul Love is a Fallacy, tentang kekeliruan dalam berbahasa. Patut dibaca bagi mereka yang ingin menjadi pengacara, hakim, guru, konsultan, dsb.
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Selong
Essay ini bisa dibaca dengan judul Love is a Fallacy di http://gururidho.multiply.com
“Polly,” kataku ketika kami duduk di bawah pohon ek itu pada malam berikutnya, “malam ini kita tidak akan berdiskusi mengenai kekeliruan lagi.”
“Ohh, astaga,” katanya dengan kecewa.
“My dear,” kataku, mengasihinya dengan senyum, “kita sekarang telah menghabiskan lima malam bersama-sama. Kita telah melewatinya dengan baik sekali. Telah jelas bahwa kita cocok satu sama lain.”
“Hasty Generalization,” kata Polly dengan cemerlang.
“Maaf,” kataku.
“Hasty Generalization,” ulangnya. “Bagaimana kamu bisa mengatakan kita cocok satu sama lain hanya berdasarkan pada lima kali kencan?”
Aku terkekeh merasa lucu. Dia telah belajar dengan sangat baik.
“Sayang,” kataku sambil menyentuh tangannya ringan saja, “lima kali kencan itu banyak. Dan juga, kamu tidak harus makan semua kuenya untuk tahu bahwa kue itu bagus.”
“False Analogy,” katanya tanpa pikir-pikir. “Aku bukan kue. Aku ini cewek.”
Aku menggamitnya dengan rasa senang yang mulai berkurang. Menurutku, rupanya dia telah belajar terlalu baik. Aku memutuskan untuk mengubah taktik. Jelas bahwa pendekatan terbaik adalah yang simpel, kuat, dan pernyataan cinta yang langsung. Aku diam sebentar dan otakku yang perkasa memilih kata-kata yang tepat. Kemudian aku mulai.
“Polly, aku mencintaimu. Kamu adalah seluruh dunia bagiku, dan bulan dan bintang dan seluruh planet di angkasa raya. Kumohon sayangku, katakan bahwa kamu mau menjadi pacarku, karena kalau kamu tidak mau, hidup ini tiada artinya lagi. Aku akan merana. Aku tidak akan bisa makan. Aku akan menjelajah bumi ini, dengan tubuh tanpa jiwa.”
Kemudian aku diam, melipat tanganku dan menunggu.
“Ad Misericordiam,” kata Polly.
Aku menggertakkan gigiku. Aku bukan Pygmalion. Aku adalah Frankenstein, dan monsterku telah mencekik leherku. Dengan bingung aku melawan gelombang panik yang melandaku. Tapi bagaimanapun juga aku harus tetap tenang.
“Baiklah Polly,” kataku, memaksakan untuk tersenyum, “tampaknya kamu telah belajar tentang kekeliruan logika.”
“Kamu benar,” katanya dengan anggukan yang bersemangat.
“Dan siapa yang mengajarimu itu semua, Polly?”
“Kamu.”
“Benar. Oleh karena itu kamu berhutang padaku sesuatu, bukan begitu, my dear? Seandainya aku tidak mengajarimu, kamu tidak akan pernah belajar tentang kesalahan logika.”
“Hypothesis Contrary to Fact,” katanya dengan cepat.
Aku menyeka keringat dari dahiku. “Polly,” kataku dengan suara parau, “kamu tidak boleh melihat semua ini secara harafiah. Maksudku itu semua adalah materi di ruang kelas. Kamu tahu bahwa apa-apa yang kamu pelajari di sekolah tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kehidupan.”
”Dicto Simpliciter,” katanya sambil menggoyang-goyangkan jarinya dengan jenaka.
Itu sudah cukup. Aku melompat berdiri dan melenguh seperti seekor sapi jantan. “Mau atau tidak, kamu menjadi pacarku?”
“Tidak mau,” jawabnya.
“Kenapa,” desakku.
“Karena tadi sore aku sudah berjanji sama Petey Burch bahwa aku akan berpacaran dengannya.
*****
Aku tersurut mundur, dikuasai oleh jawaban yang tidak kusangka-sangka. Setelah dia berjanji, setelah dia membuat persetujuan, setelah dia menjabat tanganku! “The rat! aku menjerit, menendang gundukan tanah yang cukup besar. “Kamu tidak bisa pacaran dengannya, Polly. Dia pembohong. Dia penipu. Dia tikus besar.”
“Poisoning the Well,” kata Polly, “dan berhentilah berteriak. Aku pikir berteriak juga sebuah kekeliruan.”
Dengan usaha yang luar biasa, aku mengatur suaraku. “Baiklah,” kataku. “Kamu adalah seorang yang logis. Mari kita nilai hal ini secara logis pula. Bagaimana mungkin kamu lebih memilih Petey Burch daripada aku? Lihatlah diriku – mahasiswa yang pintar, dengan intelektual yang dahsyat, seorang laki-laki dengan masa depan yang meyakinkan. Lihat Petey – dungu, suka hura-hura, seorang laki-laki yang tidak pernah tahu dari mana dia dapat memperoleh makanan. Dapatkah kamu memberiku satu alasan logis mengapa kamu harus berpacaran dengan Petey Burch?”
“Tentu bisa,” terang Polly. “Dia punya mantel raccoon.”
[1] Tikus besar
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Selong
Essay ini bisa dibaca dengan judul Love is a Fallacy di http://gururidho.multiply.com
“Polly,” kataku ketika kami duduk di bawah pohon ek itu pada malam berikutnya, “malam ini kita tidak akan berdiskusi mengenai kekeliruan lagi.”
“Ohh, astaga,” katanya dengan kecewa.
“My dear,” kataku, mengasihinya dengan senyum, “kita sekarang telah menghabiskan lima malam bersama-sama. Kita telah melewatinya dengan baik sekali. Telah jelas bahwa kita cocok satu sama lain.”
“Hasty Generalization,” kata Polly dengan cemerlang.
“Maaf,” kataku.
“Hasty Generalization,” ulangnya. “Bagaimana kamu bisa mengatakan kita cocok satu sama lain hanya berdasarkan pada lima kali kencan?”
Aku terkekeh merasa lucu. Dia telah belajar dengan sangat baik.
“Sayang,” kataku sambil menyentuh tangannya ringan saja, “lima kali kencan itu banyak. Dan juga, kamu tidak harus makan semua kuenya untuk tahu bahwa kue itu bagus.”
“False Analogy,” katanya tanpa pikir-pikir. “Aku bukan kue. Aku ini cewek.”
Aku menggamitnya dengan rasa senang yang mulai berkurang. Menurutku, rupanya dia telah belajar terlalu baik. Aku memutuskan untuk mengubah taktik. Jelas bahwa pendekatan terbaik adalah yang simpel, kuat, dan pernyataan cinta yang langsung. Aku diam sebentar dan otakku yang perkasa memilih kata-kata yang tepat. Kemudian aku mulai.
“Polly, aku mencintaimu. Kamu adalah seluruh dunia bagiku, dan bulan dan bintang dan seluruh planet di angkasa raya. Kumohon sayangku, katakan bahwa kamu mau menjadi pacarku, karena kalau kamu tidak mau, hidup ini tiada artinya lagi. Aku akan merana. Aku tidak akan bisa makan. Aku akan menjelajah bumi ini, dengan tubuh tanpa jiwa.”
Kemudian aku diam, melipat tanganku dan menunggu.
“Ad Misericordiam,” kata Polly.
Aku menggertakkan gigiku. Aku bukan Pygmalion. Aku adalah Frankenstein, dan monsterku telah mencekik leherku. Dengan bingung aku melawan gelombang panik yang melandaku. Tapi bagaimanapun juga aku harus tetap tenang.
“Baiklah Polly,” kataku, memaksakan untuk tersenyum, “tampaknya kamu telah belajar tentang kekeliruan logika.”
“Kamu benar,” katanya dengan anggukan yang bersemangat.
“Dan siapa yang mengajarimu itu semua, Polly?”
“Kamu.”
“Benar. Oleh karena itu kamu berhutang padaku sesuatu, bukan begitu, my dear? Seandainya aku tidak mengajarimu, kamu tidak akan pernah belajar tentang kesalahan logika.”
“Hypothesis Contrary to Fact,” katanya dengan cepat.
Aku menyeka keringat dari dahiku. “Polly,” kataku dengan suara parau, “kamu tidak boleh melihat semua ini secara harafiah. Maksudku itu semua adalah materi di ruang kelas. Kamu tahu bahwa apa-apa yang kamu pelajari di sekolah tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kehidupan.”
”Dicto Simpliciter,” katanya sambil menggoyang-goyangkan jarinya dengan jenaka.
Itu sudah cukup. Aku melompat berdiri dan melenguh seperti seekor sapi jantan. “Mau atau tidak, kamu menjadi pacarku?”
“Tidak mau,” jawabnya.
“Kenapa,” desakku.
“Karena tadi sore aku sudah berjanji sama Petey Burch bahwa aku akan berpacaran dengannya.
*****
Aku tersurut mundur, dikuasai oleh jawaban yang tidak kusangka-sangka. Setelah dia berjanji, setelah dia membuat persetujuan, setelah dia menjabat tanganku! “The rat! aku menjerit, menendang gundukan tanah yang cukup besar. “Kamu tidak bisa pacaran dengannya, Polly. Dia pembohong. Dia penipu. Dia tikus besar.”
“Poisoning the Well,” kata Polly, “dan berhentilah berteriak. Aku pikir berteriak juga sebuah kekeliruan.”
Dengan usaha yang luar biasa, aku mengatur suaraku. “Baiklah,” kataku. “Kamu adalah seorang yang logis. Mari kita nilai hal ini secara logis pula. Bagaimana mungkin kamu lebih memilih Petey Burch daripada aku? Lihatlah diriku – mahasiswa yang pintar, dengan intelektual yang dahsyat, seorang laki-laki dengan masa depan yang meyakinkan. Lihat Petey – dungu, suka hura-hura, seorang laki-laki yang tidak pernah tahu dari mana dia dapat memperoleh makanan. Dapatkah kamu memberiku satu alasan logis mengapa kamu harus berpacaran dengan Petey Burch?”
“Tentu bisa,” terang Polly. “Dia punya mantel raccoon.”
[1] Tikus besar
Cinta adalah Sebuah Kekeliruan Logika (2)
Sebuah Essay dari Max Shulman, dengan judul Love is a Fallacy, tentang kekeliruan dalam berbahasa. Patut dibaca bagi mereka yang ingin menjadi pengacara, hakim, guru, konsultan, dsb.
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Selong
Tulisan ini bisa dibaca dengan judul Love is a Fallacy di http://gururidho.multiply.com
Kencan pertamaku dengan Polly berlangsung malam itu juga. Rasanya seperti sebuah survey; Aku ingin tahu seberat apa usaha yang harus aku lakukan untuk membuka wawasannya, membuatnya smart sehingga mencapai standard yang aku persyaratkan. Pertama kali aku membawanya makan malam. “Gee[1], itu makan malam yang lezat sekali,” katanya ketika kami baru saja meninggalkan restoran. Kemudian aku membawanya ke bioskop. “Gee. Itu tadi filmnya bagus sekali,” katanya ketika kami meninggalkan bioskop. Kemudian aku mengantarnya pulang. “Gee. Malam ini benar-benar luar biasa bagiku,” katanya ketika dia mengucapkan selamat malam padaku.
Aku kembali ke kamarku dengan hati berat. Aku telah dengan sembrono mengentengkan bebanku. Kekurangan informasi yang dimiliki gadis ini mengerikan. Tidak akan cukup dengan hanya menyuapinya dengan informasi saja. Pertama-tama dia harus diajarkan bagaiman harus berpikir. Terbayang bahwa ini bukan sebuah proyek yang berdimensi kecil, dan ini membuatku pada awalnya tergoda untuk mengembalikannya kepada Petey. Tetapi kemudian terbayang dalam benakku pesonanya yang berlimpah ruah dan gayanya ketika memasuki ruangan, gayanya ketika memegang pisau dan garpu, dan aku memutuskan untuk terus berusaha.
Aku melakukannya, seperti dalam segala hal, secara sistematis. Aku memberinya kursus logika. Karena aku, sebagai mahasiswa hukum, mengambil mata kuliah logika, jadi segala hal yang aku perlukan sudah ada di ujung jariku. “Polly,” kataku ketika aku menjemputnya untuk kencan kami yang berikutnya, “malam ini kita akan ke Knoll dan bicara.”
“Oo, luar biasa,” jawabnya. Satu hal yang ingin ku katakan pada gadis ini: kamu akan lihat nanti, mungkin kami tidak akan begitu senang.
Kami pergi ke Knoll, tempat rekreasi yang paling ramai di kampus, dan kami duduk di bawah sebuah pohon ek yang sudah tua, dan dia menatapku dengan tatapan yang penuh harapan. “Apa yang akan kita bicarakan?” tanyanya.
“Logika.”
Dia berpikir untuk beberapa menit dan memutuskan bahwa dia menyukainya. “Menyenangkan,” ujarnya.
“Logika,” kataku, berdehem membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba gatal, “adalah ilmu berfikir. Sebelum kita dapat berpikir dengan benar, pertama kali kita harus belajar mengenal kesalahan umum dalam logika. Inilah yang akan kita latih malam ini.”
“Wow-hoo!” jeritnya, bertepuk tangan dengan gembira.
Aku berjenggit, tapi dengan berani terus memulai. “Pertama-tama marilah kita pelajari kesalahan yang disebut Dicto Simpliciter.”
“Apa artinya itu?” desaknya, sambil matanya berkedip-kedip.
Dicto Simpliciter berarti argumen yang berdasarkan generalisasi yang tidak memenuhi syarat (unqualified generalization). Sebagai contoh: Olahraga itu bagus. Oleh karena itu semua orang harus berolahraga.”
“Aku setuju,” kata Polly dengan jelas. “Maksudku, olahraga itu luar biasa. Maksudku, dia membentuk tubuh dan segalanya.”
“Polly,” kataku dengan lembut, “argumen itu adalah sebuah kesalahan. Olahraga itu baik adalah sebuah generalisasi yang tidak memenuhi syarat. Misalkan kamu memiliki penyakit jantung, olah raga itu jelek bagimu, tidak bagus. Banyak orang yang diperintahkan oleh dokter mereka untuk tidak berolahraga. Kamu harus mensyaratkan generalisasi itu. Kamu harus mengatakan olahraga biasanya baik atau olahraga baik untuk kebanyakan orang. Kalau tidak maka kamu telah melakukan Dicto Simpliciter. Mengerti?”
“Tidak,” akunya. “Tapi ini hebat sekali. Lagi! Lagi!”
“Sebaiknya kamu tidak menarik-narik lengan bajuku,” aku memberitahunya, dan ketika dia sudah berhenti, aku melanjutkan. “Berikutnya kita akan membahas tentang kekeliruan yang bernama Hasty Generalization (Generalisasi Tergesa-Gesa). Dengarkan baik-baik: Kamu tidak bisa berbahasa Perancis. Petey Burch tidak bisa berbahasa Perancis. Oleh karena itu kemudian saya menyimpulkan bahwa tidak ada seorangpun di Universitas Minnesota yang bisa berbahasa Perancis.”
“Benarkah?” tanya Polly, heran. “Tidak ada?”
Aku menyembunyikan kejengkelanku. “Polly, itu adalah kekeliruan. Kita terlalu cepat sampai generalisasi. Terlalu sedikit contoh yang kita ambil untuk mendukung kesimpulan seperti itu.”
“Ada kekeliruan yang lain?” dia bertanya menahan nafas. “Hal ini bahkan lebih menyenangkan daripada berdansa.”
Aku memerangi gelombang rasa putus asa. Tidak ada kemajuan yang aku dapatkan bersama gadis ini, benar-benar tidak ada. Meski begitu, Bukan aku kalau tidak gigih. Aku lanjutkan. “Yang berikutnya adalah Post Hoc. Dengarkan contoh berikut ini: Jangan kita ajak Bill pergi piknik. Setiap kali kita mengajaknya keluar, selalu saja turun hujan.”
“Aku tahu seseorang yang seperti itu,” serunya. “Gadis tetangga belakang rumah – Eula Becker, namanya. Tidak pernah tidak. Setiap kali kami mengajaknya piknik –”
“Polly,” sentakku tajam, “itu adalah kekeliruan. Eula Becker tidak menyebabkan hujan. Dia tidak ada hubungannya dengan hujan. Kamu keliru dengan Post Hoc jika kamu menyalahkan Eula Becker.”
“Aku tidak akan melakukannya lagi,” katanya dengan nada yang sangat menyesal. “Kamu marah sama aku?”
Aku menghela nafas dalam-dalam. “Tidak, Polly. Aku tidak marah.”
“Kalau begiu beritahu aku kekeliruan logika lagi.”
“Baiklah. Mari kita lanjutkan dengan Contradictory Premises (Premis berlawanan).”
“Ya, mari,” kicaunya, mengedip-ngedipkan matanya dengan gembira.
Aku mengerutkan dahi dan melanjutkan. “Ini adalah contoh dari Contradictory Premises. Jika Tuhan dapat melakukan apa saja, dapatkah Dia membuat sebuah batu yang sangat berat, yang sedemikian beratnya sampai Dia sendiri tidak sanggup untuk mengangkat batu itu?”
“Tentu saja dia bisa membuat batu seperti itu,” jawabnya tanpa berpikir.
“Tetapi jika Dia bisa melakukan apa saja, berarti dia bisa mengangkat batu itu,” aku tunjukkan kekeliruannya.
“Yeah,” katanya sambil berpikir. “Kalau begitu, aku kira Dia tidak bisa membuat batu itu.”
“Tapi Dia bisa membuat apa saja,” aku mengingatkannya.
Dia menggaruk-garuk kepalanya yang bagus tapi kosong itu. “Aku benar-benar bingung,” akunya.
“Tentu saja kamu bingung. Karena premis dan argumen berlawanan satu sama lain, jadi tidak bisa ada argumen. Jika ada kekuatan yang tidak ada batasnya, tentu tidak ada benda yang tidak bisa angkat. Jika ada benda yang tidak bisa diangkat, tentu tidak ada kekuatan yang tidak terbatas. Mengerti?”
“Beritahu aku lagi tentang bahan yang sangat menyenangkan ini,” katanya dengan gembira.
Aku memeriksa jam tanganku. “Aku pikir ini sudah malam. Aku akan mengantarmu pulang sekarang, dan pikirkan lagi apa yang sudah kamu pelajari malam ini. Kita akan ketemu lagi besok malam.”
Aku mengantarnya sampai asrama wanita, dia meyakinkanku bahwa dia benar-benar telah melewati malam yang sempurna, dan aku kembali ke kos ku dengan perasaan murung. Petey tidur mendengkur di atas tempat tidurnya, dan mantel raccoon menumpuk seperti seekor binatang berbulu yang besar di kakinya. Untuk beberapa waktu aku menimbang-nimbang untuk membangunkannya dan memberitahukan bahwa dia bisa mengambil kembali gadisnya. Tampak jelas bahwa proyekku telah berakhir dengan kegagalan. Gadis itu tampaknya memiliki otak-anti-logika.
Tapi kemudian aku menimbang ulang. Aku telah menyia-nyiakan satu malam; Aku mungkin akan menyia-nyiakan satu malam lagi. Siapa tahu? Mungkin di satu tempat di dalam kawah otaknya yang sudah mati, masih ada bara yang menyala. Mungkin dengan entah bagaimana aku bisa mengipas bara itu menjadi api. Harus diakui bahwa ini bukanlah kemungkinan yang memiliki kesempatan berhasil, tapi aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi.
Duduk di bawah pohon ek yang sama malam berikutnya, aku berkata, “Kekeliruan kita yang pertama malam ini disebut Ad Misericordiam.”
Dia menggigil saking senangnya.
“Dengar baik-baik,” kataku. “Seorang laki-laki melamar pekerjaan. Ketika pimpinan perusahaan menanyakan kualifikasinya, dia menjawab bahwa dia punya istri dan enam orang anak di rumah, istrinya lumpuh berat, anak-anak tidak punya makanan untuk dimakan, tidak punya pakaian untuk dipakai, tidak punya sepatu, tidak ada tempat tidur di rumahnya, tidak ada batubara di gudang, dan musim dingin sudah menjelang.”
Air mata mengalir di kedua pipi Polly yang merah muda. “Oh, ini menyedihkan, menyedihkan,” isaknya.
“Ya, ini memang menyedihkan,” aku setuju, “tetapi itu bukan argumen. Laki-laki itu tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh bos perusahaan itu tentang kualifikasi pekerjaannya. Melainkan dia menarik simpati bos itu. Dia telah melakukan kekeliruan Ad Misericordiam. Mengerti?”
“Punya sapu tangan?” katanya sambil menangis.
Aku mengangsurkan sapu tangan padanya dan mencoba utuk tidak berteriak ketika dia menghapus matanya. “Berikutnya,” kataku dengan nada yang terkontrol dengan cermat, “kita akan mendiskusikan tentang False Analogy (Analogi Salah). Ini contohnya: Siswa seharusnya dibiarkan untuk melihat catatan mereka ketika ujian. Karena toh, dokter bedah melihat hasil rontgen yang memandu mereka ketika melakukan operasi, para pengacara punya ringkasan yang memandu mereka selama pengadilan berlangsung, para tukang bangunan punya gambar yang memandu mereka ketika mereka membuat rumah. Kenapa, kemudian, siswa tidak diizinkan untuk melihat buku catatan mereka dalam ujian?”
“Nah, itu,” katanya dengan penuh antusias, “adalah gagasan yang paling hebat yang pernah aku dengar dalam tahun ini.”
“Polly,” kataku dengan tidak sabar, “argument itu semuanya salah. Dokter, pengacara, dan tukang bangunan tidak sedang menguji untuk melihat apa saja yang sudah mereka pelajari, sedangkan siswa ya. Situasinya berbeda jauh, dan kamu tidak dapat menarik analogi di antara mereka.”
“Tapi tetap aku merasa itu adalah ide yang bagus,” kata Polly.
“Bodoh,” gerutuku. Dengan menguatkan hati aku kembali melanjutkan. “Berikut ini kita akan mencoba Hypothesis Contrary to Fact (Hipotesa Berlawanan dengan Fakta).”
“Kedengarannya asyik,” sambut Polly.
“Dengarkan: Jika Madame Currie tidak meninggalkan lembaran plat foto di dalam laci bersama bongkahan bijih Uranium, dunia sekarang ini tidak akan tahu tentang Radium.”
“Benar, benar,” kata Polly, sambil menganggukkan kepalanya. “Apakah kamu menonton filmnya? Oh, film itu membuatku pingsan. Itu lho, si Walter Pidgeon begitu hebat. Maksudku dia membuatku hancur.”
“Jika kamu dapat melupakan Walter Pidgeon untuk sementara,” kataku dengan dingin, “aku akan menunjukkan bahwa pernyataan tersebut adalah kekeliruan. Mungkin Madame Currie akan menemukan Radium beberapa saat kemudian. Mungkin beberapa hal terjadi. Mungkin juga orang lain yang akan menemukan Radium. Kamu tidak dapat memulai hipotesa yang tidak benar kemudian menarik kesimpulan yang mendukung darinya.”
“Mereka harus memberi peran yang lebih banyak lagi buat Walter Pidgeon pada film-film yang lain,” kata Polly. “Jarang sekali aku melihatnya di film lagi.”
Satu kesempatan lagi, aku putuskan. Tapi hanya satu kesempatan lagi. Ada batas bagi daging dan darah untuk dapat bertahan. “Kekeliruan berikutnya disebut Poisoning Well (Meracun Sumur).”
“Manis sekali!” dia mendeguk.
“Dua orang sedang berdebat. Orang pertama berdiri dan mengatakan, ‘Lawan debatku ini terkenal sebagai pembohong. Kamu tidak dapat mempercayai apa yang akan dikatakannya sepatah katapun.’ Sekarang, Polly, pikirkan. Pikirkan dengan sungguh-sungguh. Apa yang salah?”
Aku menatapnya lekat-lekat ketika dia menyulam dahinya yang berwarna krem karena berkonsentrasi. Tiba-tiba, samar-samar aku bisa melihat cahaya intelegensi – yang pertama kali yang pernah kulihat – nampak di matanya. “Itu tidak adil,” katanya dengan jengkel. “Itu tidak adil sedikitpun. Kesempatan apa yang dimiliki oleh orang yang kedua jika orang yang pertama mengatakannya sebagai seorang pembohong bahkan sebelum dia memulai berbicara?”
“Benar!” teriakku dengan sangat gembira. “Seratus persen benar. Itu tidak adil. Orang pertama telah meracuni sumur itu sebelum orang lain dapat minum darinya. Dia telah melumpuhkan lawannya bahkan sebelum dia mulai. Polly, aku bangga padamu.”
“Pshaw[2],” dia komat-kamit, merah karena gembira.
“Kamu paham sekarang, sayang, masalah ini tidak terlalu berat. Yang kamu butuhkan hanya konsentrasi. Berpikir – menguji – menilai. Mari sekarang, mari kita ulang lagi apa yang udah kita pelajari.”
“Api telah padam,” katanya sambil mengipas-ngipas dengan tangannya.
Berbesar hati karena ternyata Polly tidak kerdil sama sekali, aku mengulang dengan sabar apa yang pernah aku ajarkan padanya dari awal. Lagi dan lagi kukutip beberapa contoh, menunjukkan kekurangan-kekurangan, terus menempa tanpa henti. Rasanya seperti menggali terowongan. Pada awalnya semuanya adalah kerja berat, keringat, dan kegelapan. Aku tidak punya gagasan kapan aku akan mencapai cahaya, atau bahkan aku tidak tahu apakah aku akan bertemu cahaya. Tapi akau bertahan. Aku teras menggali, mencakar, membongkar, dan akhirnya aku berhasil. Aku melihat secercah cahaya, kemudian cahaya itu semakin besar dan besar dan akhirnya cahaya matahari menerobos masuk, dan semuanya menjadi terang.
Lima malam yang meletihkan, tapi sekarang terbukti tidak sia-sia. Aku telah berhasil membuat Polly menjadi logis; aku telah mengajarinya berpikir. Tugasku telah selesai. Akhirnya dia berharga bagiku. Dia akan menjadi istri yang cocok bagiku, nyonya rumah yang tepat bagi rumah gedungku, dan akan menjadi ibu yang tepat bagi anak-anakku yang terdidik.
Tentu saja tidak boleh ada pikiran bahwa aku tidak ada cinta sama gadis ini. Benar-benar kebalikannya. Seperti Pygmaleon yang mencintai wanita sempurna yang telah dia berikan pakaian, demikian juga dengan aku. Aku memutuskan untuk memperkenalkannya dengan perasaanku pada pertemuan berikutnya. Saatnya sudah datang untuk mengubah hubungan kami dari akademik menjadi romantik.
(tobe continued)
[1] /gi:/ Tuhan! (kata seru) singkatan dari God!
[2] Puih! (kata seru)
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Selong
Tulisan ini bisa dibaca dengan judul Love is a Fallacy di http://gururidho.multiply.com
Kencan pertamaku dengan Polly berlangsung malam itu juga. Rasanya seperti sebuah survey; Aku ingin tahu seberat apa usaha yang harus aku lakukan untuk membuka wawasannya, membuatnya smart sehingga mencapai standard yang aku persyaratkan. Pertama kali aku membawanya makan malam. “Gee[1], itu makan malam yang lezat sekali,” katanya ketika kami baru saja meninggalkan restoran. Kemudian aku membawanya ke bioskop. “Gee. Itu tadi filmnya bagus sekali,” katanya ketika kami meninggalkan bioskop. Kemudian aku mengantarnya pulang. “Gee. Malam ini benar-benar luar biasa bagiku,” katanya ketika dia mengucapkan selamat malam padaku.
Aku kembali ke kamarku dengan hati berat. Aku telah dengan sembrono mengentengkan bebanku. Kekurangan informasi yang dimiliki gadis ini mengerikan. Tidak akan cukup dengan hanya menyuapinya dengan informasi saja. Pertama-tama dia harus diajarkan bagaiman harus berpikir. Terbayang bahwa ini bukan sebuah proyek yang berdimensi kecil, dan ini membuatku pada awalnya tergoda untuk mengembalikannya kepada Petey. Tetapi kemudian terbayang dalam benakku pesonanya yang berlimpah ruah dan gayanya ketika memasuki ruangan, gayanya ketika memegang pisau dan garpu, dan aku memutuskan untuk terus berusaha.
Aku melakukannya, seperti dalam segala hal, secara sistematis. Aku memberinya kursus logika. Karena aku, sebagai mahasiswa hukum, mengambil mata kuliah logika, jadi segala hal yang aku perlukan sudah ada di ujung jariku. “Polly,” kataku ketika aku menjemputnya untuk kencan kami yang berikutnya, “malam ini kita akan ke Knoll dan bicara.”
“Oo, luar biasa,” jawabnya. Satu hal yang ingin ku katakan pada gadis ini: kamu akan lihat nanti, mungkin kami tidak akan begitu senang.
Kami pergi ke Knoll, tempat rekreasi yang paling ramai di kampus, dan kami duduk di bawah sebuah pohon ek yang sudah tua, dan dia menatapku dengan tatapan yang penuh harapan. “Apa yang akan kita bicarakan?” tanyanya.
“Logika.”
Dia berpikir untuk beberapa menit dan memutuskan bahwa dia menyukainya. “Menyenangkan,” ujarnya.
“Logika,” kataku, berdehem membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba gatal, “adalah ilmu berfikir. Sebelum kita dapat berpikir dengan benar, pertama kali kita harus belajar mengenal kesalahan umum dalam logika. Inilah yang akan kita latih malam ini.”
“Wow-hoo!” jeritnya, bertepuk tangan dengan gembira.
Aku berjenggit, tapi dengan berani terus memulai. “Pertama-tama marilah kita pelajari kesalahan yang disebut Dicto Simpliciter.”
“Apa artinya itu?” desaknya, sambil matanya berkedip-kedip.
Dicto Simpliciter berarti argumen yang berdasarkan generalisasi yang tidak memenuhi syarat (unqualified generalization). Sebagai contoh: Olahraga itu bagus. Oleh karena itu semua orang harus berolahraga.”
“Aku setuju,” kata Polly dengan jelas. “Maksudku, olahraga itu luar biasa. Maksudku, dia membentuk tubuh dan segalanya.”
“Polly,” kataku dengan lembut, “argumen itu adalah sebuah kesalahan. Olahraga itu baik adalah sebuah generalisasi yang tidak memenuhi syarat. Misalkan kamu memiliki penyakit jantung, olah raga itu jelek bagimu, tidak bagus. Banyak orang yang diperintahkan oleh dokter mereka untuk tidak berolahraga. Kamu harus mensyaratkan generalisasi itu. Kamu harus mengatakan olahraga biasanya baik atau olahraga baik untuk kebanyakan orang. Kalau tidak maka kamu telah melakukan Dicto Simpliciter. Mengerti?”
“Tidak,” akunya. “Tapi ini hebat sekali. Lagi! Lagi!”
“Sebaiknya kamu tidak menarik-narik lengan bajuku,” aku memberitahunya, dan ketika dia sudah berhenti, aku melanjutkan. “Berikutnya kita akan membahas tentang kekeliruan yang bernama Hasty Generalization (Generalisasi Tergesa-Gesa). Dengarkan baik-baik: Kamu tidak bisa berbahasa Perancis. Petey Burch tidak bisa berbahasa Perancis. Oleh karena itu kemudian saya menyimpulkan bahwa tidak ada seorangpun di Universitas Minnesota yang bisa berbahasa Perancis.”
“Benarkah?” tanya Polly, heran. “Tidak ada?”
Aku menyembunyikan kejengkelanku. “Polly, itu adalah kekeliruan. Kita terlalu cepat sampai generalisasi. Terlalu sedikit contoh yang kita ambil untuk mendukung kesimpulan seperti itu.”
“Ada kekeliruan yang lain?” dia bertanya menahan nafas. “Hal ini bahkan lebih menyenangkan daripada berdansa.”
Aku memerangi gelombang rasa putus asa. Tidak ada kemajuan yang aku dapatkan bersama gadis ini, benar-benar tidak ada. Meski begitu, Bukan aku kalau tidak gigih. Aku lanjutkan. “Yang berikutnya adalah Post Hoc. Dengarkan contoh berikut ini: Jangan kita ajak Bill pergi piknik. Setiap kali kita mengajaknya keluar, selalu saja turun hujan.”
“Aku tahu seseorang yang seperti itu,” serunya. “Gadis tetangga belakang rumah – Eula Becker, namanya. Tidak pernah tidak. Setiap kali kami mengajaknya piknik –”
“Polly,” sentakku tajam, “itu adalah kekeliruan. Eula Becker tidak menyebabkan hujan. Dia tidak ada hubungannya dengan hujan. Kamu keliru dengan Post Hoc jika kamu menyalahkan Eula Becker.”
“Aku tidak akan melakukannya lagi,” katanya dengan nada yang sangat menyesal. “Kamu marah sama aku?”
Aku menghela nafas dalam-dalam. “Tidak, Polly. Aku tidak marah.”
“Kalau begiu beritahu aku kekeliruan logika lagi.”
“Baiklah. Mari kita lanjutkan dengan Contradictory Premises (Premis berlawanan).”
“Ya, mari,” kicaunya, mengedip-ngedipkan matanya dengan gembira.
Aku mengerutkan dahi dan melanjutkan. “Ini adalah contoh dari Contradictory Premises. Jika Tuhan dapat melakukan apa saja, dapatkah Dia membuat sebuah batu yang sangat berat, yang sedemikian beratnya sampai Dia sendiri tidak sanggup untuk mengangkat batu itu?”
“Tentu saja dia bisa membuat batu seperti itu,” jawabnya tanpa berpikir.
“Tetapi jika Dia bisa melakukan apa saja, berarti dia bisa mengangkat batu itu,” aku tunjukkan kekeliruannya.
“Yeah,” katanya sambil berpikir. “Kalau begitu, aku kira Dia tidak bisa membuat batu itu.”
“Tapi Dia bisa membuat apa saja,” aku mengingatkannya.
Dia menggaruk-garuk kepalanya yang bagus tapi kosong itu. “Aku benar-benar bingung,” akunya.
“Tentu saja kamu bingung. Karena premis dan argumen berlawanan satu sama lain, jadi tidak bisa ada argumen. Jika ada kekuatan yang tidak ada batasnya, tentu tidak ada benda yang tidak bisa angkat. Jika ada benda yang tidak bisa diangkat, tentu tidak ada kekuatan yang tidak terbatas. Mengerti?”
“Beritahu aku lagi tentang bahan yang sangat menyenangkan ini,” katanya dengan gembira.
Aku memeriksa jam tanganku. “Aku pikir ini sudah malam. Aku akan mengantarmu pulang sekarang, dan pikirkan lagi apa yang sudah kamu pelajari malam ini. Kita akan ketemu lagi besok malam.”
Aku mengantarnya sampai asrama wanita, dia meyakinkanku bahwa dia benar-benar telah melewati malam yang sempurna, dan aku kembali ke kos ku dengan perasaan murung. Petey tidur mendengkur di atas tempat tidurnya, dan mantel raccoon menumpuk seperti seekor binatang berbulu yang besar di kakinya. Untuk beberapa waktu aku menimbang-nimbang untuk membangunkannya dan memberitahukan bahwa dia bisa mengambil kembali gadisnya. Tampak jelas bahwa proyekku telah berakhir dengan kegagalan. Gadis itu tampaknya memiliki otak-anti-logika.
Tapi kemudian aku menimbang ulang. Aku telah menyia-nyiakan satu malam; Aku mungkin akan menyia-nyiakan satu malam lagi. Siapa tahu? Mungkin di satu tempat di dalam kawah otaknya yang sudah mati, masih ada bara yang menyala. Mungkin dengan entah bagaimana aku bisa mengipas bara itu menjadi api. Harus diakui bahwa ini bukanlah kemungkinan yang memiliki kesempatan berhasil, tapi aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi.
Duduk di bawah pohon ek yang sama malam berikutnya, aku berkata, “Kekeliruan kita yang pertama malam ini disebut Ad Misericordiam.”
Dia menggigil saking senangnya.
“Dengar baik-baik,” kataku. “Seorang laki-laki melamar pekerjaan. Ketika pimpinan perusahaan menanyakan kualifikasinya, dia menjawab bahwa dia punya istri dan enam orang anak di rumah, istrinya lumpuh berat, anak-anak tidak punya makanan untuk dimakan, tidak punya pakaian untuk dipakai, tidak punya sepatu, tidak ada tempat tidur di rumahnya, tidak ada batubara di gudang, dan musim dingin sudah menjelang.”
Air mata mengalir di kedua pipi Polly yang merah muda. “Oh, ini menyedihkan, menyedihkan,” isaknya.
“Ya, ini memang menyedihkan,” aku setuju, “tetapi itu bukan argumen. Laki-laki itu tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh bos perusahaan itu tentang kualifikasi pekerjaannya. Melainkan dia menarik simpati bos itu. Dia telah melakukan kekeliruan Ad Misericordiam. Mengerti?”
“Punya sapu tangan?” katanya sambil menangis.
Aku mengangsurkan sapu tangan padanya dan mencoba utuk tidak berteriak ketika dia menghapus matanya. “Berikutnya,” kataku dengan nada yang terkontrol dengan cermat, “kita akan mendiskusikan tentang False Analogy (Analogi Salah). Ini contohnya: Siswa seharusnya dibiarkan untuk melihat catatan mereka ketika ujian. Karena toh, dokter bedah melihat hasil rontgen yang memandu mereka ketika melakukan operasi, para pengacara punya ringkasan yang memandu mereka selama pengadilan berlangsung, para tukang bangunan punya gambar yang memandu mereka ketika mereka membuat rumah. Kenapa, kemudian, siswa tidak diizinkan untuk melihat buku catatan mereka dalam ujian?”
“Nah, itu,” katanya dengan penuh antusias, “adalah gagasan yang paling hebat yang pernah aku dengar dalam tahun ini.”
“Polly,” kataku dengan tidak sabar, “argument itu semuanya salah. Dokter, pengacara, dan tukang bangunan tidak sedang menguji untuk melihat apa saja yang sudah mereka pelajari, sedangkan siswa ya. Situasinya berbeda jauh, dan kamu tidak dapat menarik analogi di antara mereka.”
“Tapi tetap aku merasa itu adalah ide yang bagus,” kata Polly.
“Bodoh,” gerutuku. Dengan menguatkan hati aku kembali melanjutkan. “Berikut ini kita akan mencoba Hypothesis Contrary to Fact (Hipotesa Berlawanan dengan Fakta).”
“Kedengarannya asyik,” sambut Polly.
“Dengarkan: Jika Madame Currie tidak meninggalkan lembaran plat foto di dalam laci bersama bongkahan bijih Uranium, dunia sekarang ini tidak akan tahu tentang Radium.”
“Benar, benar,” kata Polly, sambil menganggukkan kepalanya. “Apakah kamu menonton filmnya? Oh, film itu membuatku pingsan. Itu lho, si Walter Pidgeon begitu hebat. Maksudku dia membuatku hancur.”
“Jika kamu dapat melupakan Walter Pidgeon untuk sementara,” kataku dengan dingin, “aku akan menunjukkan bahwa pernyataan tersebut adalah kekeliruan. Mungkin Madame Currie akan menemukan Radium beberapa saat kemudian. Mungkin beberapa hal terjadi. Mungkin juga orang lain yang akan menemukan Radium. Kamu tidak dapat memulai hipotesa yang tidak benar kemudian menarik kesimpulan yang mendukung darinya.”
“Mereka harus memberi peran yang lebih banyak lagi buat Walter Pidgeon pada film-film yang lain,” kata Polly. “Jarang sekali aku melihatnya di film lagi.”
Satu kesempatan lagi, aku putuskan. Tapi hanya satu kesempatan lagi. Ada batas bagi daging dan darah untuk dapat bertahan. “Kekeliruan berikutnya disebut Poisoning Well (Meracun Sumur).”
“Manis sekali!” dia mendeguk.
“Dua orang sedang berdebat. Orang pertama berdiri dan mengatakan, ‘Lawan debatku ini terkenal sebagai pembohong. Kamu tidak dapat mempercayai apa yang akan dikatakannya sepatah katapun.’ Sekarang, Polly, pikirkan. Pikirkan dengan sungguh-sungguh. Apa yang salah?”
Aku menatapnya lekat-lekat ketika dia menyulam dahinya yang berwarna krem karena berkonsentrasi. Tiba-tiba, samar-samar aku bisa melihat cahaya intelegensi – yang pertama kali yang pernah kulihat – nampak di matanya. “Itu tidak adil,” katanya dengan jengkel. “Itu tidak adil sedikitpun. Kesempatan apa yang dimiliki oleh orang yang kedua jika orang yang pertama mengatakannya sebagai seorang pembohong bahkan sebelum dia memulai berbicara?”
“Benar!” teriakku dengan sangat gembira. “Seratus persen benar. Itu tidak adil. Orang pertama telah meracuni sumur itu sebelum orang lain dapat minum darinya. Dia telah melumpuhkan lawannya bahkan sebelum dia mulai. Polly, aku bangga padamu.”
“Pshaw[2],” dia komat-kamit, merah karena gembira.
“Kamu paham sekarang, sayang, masalah ini tidak terlalu berat. Yang kamu butuhkan hanya konsentrasi. Berpikir – menguji – menilai. Mari sekarang, mari kita ulang lagi apa yang udah kita pelajari.”
“Api telah padam,” katanya sambil mengipas-ngipas dengan tangannya.
Berbesar hati karena ternyata Polly tidak kerdil sama sekali, aku mengulang dengan sabar apa yang pernah aku ajarkan padanya dari awal. Lagi dan lagi kukutip beberapa contoh, menunjukkan kekurangan-kekurangan, terus menempa tanpa henti. Rasanya seperti menggali terowongan. Pada awalnya semuanya adalah kerja berat, keringat, dan kegelapan. Aku tidak punya gagasan kapan aku akan mencapai cahaya, atau bahkan aku tidak tahu apakah aku akan bertemu cahaya. Tapi akau bertahan. Aku teras menggali, mencakar, membongkar, dan akhirnya aku berhasil. Aku melihat secercah cahaya, kemudian cahaya itu semakin besar dan besar dan akhirnya cahaya matahari menerobos masuk, dan semuanya menjadi terang.
Lima malam yang meletihkan, tapi sekarang terbukti tidak sia-sia. Aku telah berhasil membuat Polly menjadi logis; aku telah mengajarinya berpikir. Tugasku telah selesai. Akhirnya dia berharga bagiku. Dia akan menjadi istri yang cocok bagiku, nyonya rumah yang tepat bagi rumah gedungku, dan akan menjadi ibu yang tepat bagi anak-anakku yang terdidik.
Tentu saja tidak boleh ada pikiran bahwa aku tidak ada cinta sama gadis ini. Benar-benar kebalikannya. Seperti Pygmaleon yang mencintai wanita sempurna yang telah dia berikan pakaian, demikian juga dengan aku. Aku memutuskan untuk memperkenalkannya dengan perasaanku pada pertemuan berikutnya. Saatnya sudah datang untuk mengubah hubungan kami dari akademik menjadi romantik.
(tobe continued)
[1] /gi:/ Tuhan! (kata seru) singkatan dari God!
[2] Puih! (kata seru)
Cinta Adalah Sebuah Kekeliruan Logika
Sebuah Essay dari Max Shulman, dengan judul asli Love is a Fallacy, tentang kekeliruan logika bahasa. Patut dibaca bagi mereka yang ingin menjadi pengacara, guru, tukang debat, konsultan, dsb.
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris, SMAN 2 Selong.
Essay ini juga bisa dibaca dengan judul Love is Fallacy pada http://gururidho.multiply.com
Aku adalah orang yang tenang dan juga logis. Giat, penuh perhitungan, berpikiran tajam, teliti, dan cerdik – deskripsi seperti itu sangat tepat untukku. Otakku sama kuatnya dengan dynamo, selalu berputar, berpikir, juga sama telitinya dengan timbangan emas, dan tajam seperti pisau bedah. Dan – yang paling mengesankan adalah – usiaku baru 18 tahun. (Bayangin aja!)
Tidak banyak orang muda yang memiliki intelektual yang luar biasa. Sebut saja, sebagai contoh, Petey Burch, teman sekamarku di Universitas Minnesota. Kami sebaya, dengan latar belakang yang sama, tetapi dia dungu seperti lembu. Teman yang cukup baik sebenarnya, cuma tidak ada yang menonjol. Emosional. Labil. Mudah dipengaruhi. Yang paling buruk dari semua itu adalah, dia seorang pengikut mode. Pengikut mode, menurutku, adalah sebuah penafian logika yang sangat luar biasa. Terseret dalam semua kegilaan baru yang datang, menyerahkan diri pada sebuah ke-idiot-an hanya karena orang lain juga melakukannya. Hal ini menurutku adalah puncak ketololan. Tetapi tidak dengan Petey. Semua dia lakukan hanya supaya bisa dikatakan sebagai seorang pengikut mode.
Suatu sore, aku temukan Petey sedang berbaring di atas tempat tidurnya dengan ekspresi sedih di mukanya Aku segera men-diagnosa-nya sedang mengidap penyakit usus buntu.
“Jangan bergerak,” kataku. “Jangan minum pencahar. Aku akan memanggil dokter.”
“Raccoon. Raccoon[1],” mulutnya berkomat-kamit berkali-kali
“Raccoon?” tanyaku heran. Aku terdiam sejenak.
“Aku mau mantel raccoon,” dia meratap.
“Mau mantel raccoon?”
“Seharusnya aku sudah tahu dari dulu,” tangisnya, sambil memukul-mukul kedua pelipisnya. “Aku seharusnya sudah tahu bahwa mantel raccoon akan kembali menjadi mode ketika Charleston datang. Seperti orang gila, aku sudah menghabiskan semua uangku untuk membeli buku pelajaran, dan sekarang aku tidak bisa membeli sebuah mantel raccoon.”
“Maksudmu,” tanyaku dengan keheranan yang tidak masuk akal, ”bahwa orang-orang tersebut kembali memakai mantel raccoon lagi?”
“Semua mahasiswa populer di kampus memakai mantel raccoon. Kamu ke mana aja, sih?
“Ke perpustakaan,” kataku menyebut sebuah tempat yang jarang dikunjungi oleh mahasiswa populer di kampus.
Dia melompat dari tempat tidur dan menandak-nandak di dalam ruangan. “Aku harus memiliki sebuah mantel raccoon,” katanya dengan bernafsu. “Harus.”
“Petey, kenapa? Cobalah bersikap rasional. Mantel raccoon tidak higienis. Selain itu juga bulunya sering menempel dan jatuh di mana-mana. Bau, terlalu berat, tidak sedap dipandang. Mereka juga….”
“Kamu tidak mengerti,” interupsinya dengan tidak sabar. “Itu adalah hal yang harus didapatkan. Tidakkah kamu ingin berada dalam kelompok anak populer?”
“Tidak,” jawabku dengan sejujurnya.
“Yah. Tapi aku ingin,” ujarnya. “Aku akan mengorbankan apa saja asalkan aku bisa punya mantel raccoon. Apa saja.”
Otakku, yang merupakan instrument yang cermat, waspada. “Apa saja?” aku bertanya, sambil menatapnya dengan berminat.
“Apa saja,” katanya menegaskan.
Aku mengelus-elus daguku, menimbang-nimbang. Aku tahu di mana aku bisa mendapatkan sebuah mantel raccoon. Ketika Bapakku masih mahasiswa dulu, dia memilikinya, dan sekarang mantel itu masih teronggok di dalam peti di attic[2] belakang rumah. Aku juga tahu bahwa Petey memiliki sesuatu yang aku inginkan sebagai pertukarannya. Persisnya, dia tidak memilikinya, tapi paling tidak dia adalah prioritas pertama baginya. Yang kumaksudkan adalah pacarnya, Polly Espy.
Telah lama aku mendambakan Polly Espy. Aku ingin menegaskan bahwa hasratku pada gadis muda ini sesungguhnya tidak secara emotional. Dia, tentu saja, adalah gadis yang menyenangkan secara emosi, tetapi aku tidak akan membiarkan hatiku mengendalikan otakku. Aku ingin Polly untuk sebuah perhitungan yang lihai, sepenuhnya untuk alasan yang sudah aku pikirkan matang-matang.
Aku adalah seorang mahasiswa di sebuah sekolah hukum. Beberapa tahun ke depan aku akan menjadi seorang pengacara yang hebat dan membuka praktik. Aku sadar betapa pentingnya peranan seorang istri dalam menunjang karirku sebagai seorang pengacara. Pengacara sukses, menurut pengamatanku, hampir tanpa pengecualian, kawin dengan wanita yang cantik, anggun, dan pintar. Dengan penghapusan pada satu syarat, Polly tampaknya memenuhi spesifikasi ini dengan sempurna.
Dia cantik. Memang dia tidak seperti seorang model, tapi aku yakin, waktu akan bisa merubahnya menjadi demikian. Dia telah memiliki syarat-syarat untuk itu.
Dia anggun, penuh keanggunan. Badannya tegak, luwes, tenang, yang semuanya dengan jelas menunjukkan bahwa dia bisa memberi keturunan yang terbaik. Table manner[3]-nya sangat elok. Aku pernah melihatnya di Kozy Kampus Korner[4] sedang makan sandwich yang berisi potongan daging panggang, saus, kacang potong, dan semangkuk acar kubis, tanpa mengotori jarinya sedikitpun.
Dia memang tidak pintar. Pada kenyataannya, dia malah kebalikannya. Tetapi aku percaya bahwa dalam bimbinganku dia akan menjadi pintar. Paling tidak, aku merasa ini patut diusahakan. Dan sebenarnya, lebih mudah membikin seorang gadis cantik yang bodoh menjadi pintar daripada membuat gadis pintar yang jelek menjadi cantik.
“Petey,” kataku, “apakah kamu mencintai Polly Espy?
“Aku pikir dia anak yang menyenangkan,” jawabnya, “tapi aku tidak tahu apakah itu bisa disebut cinta. Kenapa?”
“Apakah kamu,” tanyaku lagi, “memiliki perjanjian resmi dengannya? Maksudku, apakah kamu berpacaran atau hal-hal semacam itu?”
“Tidak. Kami memang sering bertemu, tapi kami masing-masing punya pacar. Kenapa?”
“Apakah ada,” tanyaku lagi, “laki-laki lain yang dia sukai secara spesial?”
“Tidak. Setahuku tidak ada. Kenapa?”
Aku mengangguk-angguk dengan perasaan puas. “Dengan kata lain, jika kamu tidak ada, maka lapangan akan terbuka. Benar begitu?”
“Aku kira begitu. Tapi kamu ngomong apa, sih?”
“Tidak ada, tidak ada,” kataku dengan nada tidak bersalah, dan mengambil koperku keluar dari bawah tempat tidur.
“Kamu mau kemana?” tanya Petey.
“Pulang. Akhir pekan.” Aku memasukkan beberapa barang ke dalam koper.
“Dengar,” katanya, sambil mencengkeram tanganku dengan bergairah, “Kalau kamu pulang, berarti kamu bisa minta uang sama orang tuamu, kan? Pinjamkan uang itu padaku sehingga aku bisa membeli mantel raccoon. Mau, kan?”
“Aku mungkin bisa melakukan hal yang lebih baik,” kataku dengan mengedipkan mata secara misterius.
“Lihat,” kataku kepada Petey ketika aku kembali ke kos-kos-an pada Senin pagi. Aku membuka koperku dan mengeluarkan sebuah benda yang besar, berbulu, dan berbau busuk, yang pernah dipakai bapakku dulu ketika masih menjadi anggota geng Stutz Bearcat pada tahun 1925.
“Holy Toledo![5]” seru Petey dengan hormat. Dia merengkuh mantel raccoon itu kemudian membawanya ke mukanya. “Holy Toledo!” serunya berulang-ulang lima belas atau duapuluh kali.
“Mau?” tanyaku.
“Oh, tentu!” teriaknya, sambil mencengkeram kulit bulu itu dan membawanya ke dadanya. Kemudian tatapan licik terlihat di matanya. “Apa yang kamu inginkan untuk ini?”
“Gadismu,” kataku tanpa berbelit-belit. “Polly?” tanyanya dengan bisikan yang menakutkan.
“Benar.”
Dia melempar mantel itu. “Tidak akan,” katanya dengan keras.
Aku mengangkat bahu. “Okey. Jika kamu tidak mau dianggap populer, aku pikir itu adalah urusanmu.”
Aku kemudian duduk di kursi dan pura-pura membaca buku, tetapi melalui sudut mataku aku terus memperhatikan Petey. Dia kelihatan terluka. Pertama-tama dia melihat ke arah mantel itu dengan ekspresi seperti anak terlantar di toko roti. Kemudian di berpaling dan mengertakkan rahangnya dengan tegas. Kemudian dia kembali menatap mantel itu dengan ekspresi yang lebih merana lagi di mukanya. Kemudian dia berpaling, tapi kali ini tanpa ketegasan. Bolak balik kepalanya menggeleng-geleng –nafsunya menyala, ketegasannya semakin berkurang. Akhirnya dia tidak berpaling lagi sama sekali; dia hanya berdiri dan melotot dengan nafsu yang menggila pada mantel itu.
“Aku tidak mencintai Polly,” katanya dengan tegas. “Aku juga tidak berpacaran atau semacam itu dengannya.”
“Benar,” gumamku.
“Apa artinya Polly bagiku, atau apa artinya aku bagi Polly?”
“Tidak ada,” kataku.
“Kami hanya berteman biasa, ngobrol, ketawa-ketawa, hanya itu.”
“Cobalah mantel itu,” kataku.
Dia menurut. Mantel itu membungkusnya tinggi melebihi telinganya dan jatuh ke atas sepatunya. Dia kelihatan seperti gundukan bangkai raccoon. “Sangat cocok,” katanya dengan senang.
Aku bangun dari kursiku. “Is it a deal?” kataku, sambil mengulurkan tangan.
Dia menelan ludah. “It’s a deal,” katanya, dan menjabat tanganku.
(tobe continued)
[1] Dibaca / rakun/. Binatang seperti kucing. Kulitnya yang berbulu tebal bisa dipakai untuk membuat mantel
[2] Dibaca /aetik/ sebuah ruang kecil di bawah atap rumah, biasanya dipakai sebagai gudang atau kamar (loteng)
[3] Sikap ketika berada di meja makan
[4] Rumah makan dekat kampus di Minnesota University.
[5] Holy Toledo adalah kata seru yang biasa diucapkan ketika seseorang senang dan tidak bisa mengucapkan kata-kata. (artinya kira-kira: Puji Tuhan)
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris, SMAN 2 Selong.
Essay ini juga bisa dibaca dengan judul Love is Fallacy pada http://gururidho.multiply.com
Aku adalah orang yang tenang dan juga logis. Giat, penuh perhitungan, berpikiran tajam, teliti, dan cerdik – deskripsi seperti itu sangat tepat untukku. Otakku sama kuatnya dengan dynamo, selalu berputar, berpikir, juga sama telitinya dengan timbangan emas, dan tajam seperti pisau bedah. Dan – yang paling mengesankan adalah – usiaku baru 18 tahun. (Bayangin aja!)
Tidak banyak orang muda yang memiliki intelektual yang luar biasa. Sebut saja, sebagai contoh, Petey Burch, teman sekamarku di Universitas Minnesota. Kami sebaya, dengan latar belakang yang sama, tetapi dia dungu seperti lembu. Teman yang cukup baik sebenarnya, cuma tidak ada yang menonjol. Emosional. Labil. Mudah dipengaruhi. Yang paling buruk dari semua itu adalah, dia seorang pengikut mode. Pengikut mode, menurutku, adalah sebuah penafian logika yang sangat luar biasa. Terseret dalam semua kegilaan baru yang datang, menyerahkan diri pada sebuah ke-idiot-an hanya karena orang lain juga melakukannya. Hal ini menurutku adalah puncak ketololan. Tetapi tidak dengan Petey. Semua dia lakukan hanya supaya bisa dikatakan sebagai seorang pengikut mode.
Suatu sore, aku temukan Petey sedang berbaring di atas tempat tidurnya dengan ekspresi sedih di mukanya Aku segera men-diagnosa-nya sedang mengidap penyakit usus buntu.
“Jangan bergerak,” kataku. “Jangan minum pencahar. Aku akan memanggil dokter.”
“Raccoon. Raccoon[1],” mulutnya berkomat-kamit berkali-kali
“Raccoon?” tanyaku heran. Aku terdiam sejenak.
“Aku mau mantel raccoon,” dia meratap.
“Mau mantel raccoon?”
“Seharusnya aku sudah tahu dari dulu,” tangisnya, sambil memukul-mukul kedua pelipisnya. “Aku seharusnya sudah tahu bahwa mantel raccoon akan kembali menjadi mode ketika Charleston datang. Seperti orang gila, aku sudah menghabiskan semua uangku untuk membeli buku pelajaran, dan sekarang aku tidak bisa membeli sebuah mantel raccoon.”
“Maksudmu,” tanyaku dengan keheranan yang tidak masuk akal, ”bahwa orang-orang tersebut kembali memakai mantel raccoon lagi?”
“Semua mahasiswa populer di kampus memakai mantel raccoon. Kamu ke mana aja, sih?
“Ke perpustakaan,” kataku menyebut sebuah tempat yang jarang dikunjungi oleh mahasiswa populer di kampus.
Dia melompat dari tempat tidur dan menandak-nandak di dalam ruangan. “Aku harus memiliki sebuah mantel raccoon,” katanya dengan bernafsu. “Harus.”
“Petey, kenapa? Cobalah bersikap rasional. Mantel raccoon tidak higienis. Selain itu juga bulunya sering menempel dan jatuh di mana-mana. Bau, terlalu berat, tidak sedap dipandang. Mereka juga….”
“Kamu tidak mengerti,” interupsinya dengan tidak sabar. “Itu adalah hal yang harus didapatkan. Tidakkah kamu ingin berada dalam kelompok anak populer?”
“Tidak,” jawabku dengan sejujurnya.
“Yah. Tapi aku ingin,” ujarnya. “Aku akan mengorbankan apa saja asalkan aku bisa punya mantel raccoon. Apa saja.”
Otakku, yang merupakan instrument yang cermat, waspada. “Apa saja?” aku bertanya, sambil menatapnya dengan berminat.
“Apa saja,” katanya menegaskan.
Aku mengelus-elus daguku, menimbang-nimbang. Aku tahu di mana aku bisa mendapatkan sebuah mantel raccoon. Ketika Bapakku masih mahasiswa dulu, dia memilikinya, dan sekarang mantel itu masih teronggok di dalam peti di attic[2] belakang rumah. Aku juga tahu bahwa Petey memiliki sesuatu yang aku inginkan sebagai pertukarannya. Persisnya, dia tidak memilikinya, tapi paling tidak dia adalah prioritas pertama baginya. Yang kumaksudkan adalah pacarnya, Polly Espy.
Telah lama aku mendambakan Polly Espy. Aku ingin menegaskan bahwa hasratku pada gadis muda ini sesungguhnya tidak secara emotional. Dia, tentu saja, adalah gadis yang menyenangkan secara emosi, tetapi aku tidak akan membiarkan hatiku mengendalikan otakku. Aku ingin Polly untuk sebuah perhitungan yang lihai, sepenuhnya untuk alasan yang sudah aku pikirkan matang-matang.
Aku adalah seorang mahasiswa di sebuah sekolah hukum. Beberapa tahun ke depan aku akan menjadi seorang pengacara yang hebat dan membuka praktik. Aku sadar betapa pentingnya peranan seorang istri dalam menunjang karirku sebagai seorang pengacara. Pengacara sukses, menurut pengamatanku, hampir tanpa pengecualian, kawin dengan wanita yang cantik, anggun, dan pintar. Dengan penghapusan pada satu syarat, Polly tampaknya memenuhi spesifikasi ini dengan sempurna.
Dia cantik. Memang dia tidak seperti seorang model, tapi aku yakin, waktu akan bisa merubahnya menjadi demikian. Dia telah memiliki syarat-syarat untuk itu.
Dia anggun, penuh keanggunan. Badannya tegak, luwes, tenang, yang semuanya dengan jelas menunjukkan bahwa dia bisa memberi keturunan yang terbaik. Table manner[3]-nya sangat elok. Aku pernah melihatnya di Kozy Kampus Korner[4] sedang makan sandwich yang berisi potongan daging panggang, saus, kacang potong, dan semangkuk acar kubis, tanpa mengotori jarinya sedikitpun.
Dia memang tidak pintar. Pada kenyataannya, dia malah kebalikannya. Tetapi aku percaya bahwa dalam bimbinganku dia akan menjadi pintar. Paling tidak, aku merasa ini patut diusahakan. Dan sebenarnya, lebih mudah membikin seorang gadis cantik yang bodoh menjadi pintar daripada membuat gadis pintar yang jelek menjadi cantik.
“Petey,” kataku, “apakah kamu mencintai Polly Espy?
“Aku pikir dia anak yang menyenangkan,” jawabnya, “tapi aku tidak tahu apakah itu bisa disebut cinta. Kenapa?”
“Apakah kamu,” tanyaku lagi, “memiliki perjanjian resmi dengannya? Maksudku, apakah kamu berpacaran atau hal-hal semacam itu?”
“Tidak. Kami memang sering bertemu, tapi kami masing-masing punya pacar. Kenapa?”
“Apakah ada,” tanyaku lagi, “laki-laki lain yang dia sukai secara spesial?”
“Tidak. Setahuku tidak ada. Kenapa?”
Aku mengangguk-angguk dengan perasaan puas. “Dengan kata lain, jika kamu tidak ada, maka lapangan akan terbuka. Benar begitu?”
“Aku kira begitu. Tapi kamu ngomong apa, sih?”
“Tidak ada, tidak ada,” kataku dengan nada tidak bersalah, dan mengambil koperku keluar dari bawah tempat tidur.
“Kamu mau kemana?” tanya Petey.
“Pulang. Akhir pekan.” Aku memasukkan beberapa barang ke dalam koper.
“Dengar,” katanya, sambil mencengkeram tanganku dengan bergairah, “Kalau kamu pulang, berarti kamu bisa minta uang sama orang tuamu, kan? Pinjamkan uang itu padaku sehingga aku bisa membeli mantel raccoon. Mau, kan?”
“Aku mungkin bisa melakukan hal yang lebih baik,” kataku dengan mengedipkan mata secara misterius.
“Lihat,” kataku kepada Petey ketika aku kembali ke kos-kos-an pada Senin pagi. Aku membuka koperku dan mengeluarkan sebuah benda yang besar, berbulu, dan berbau busuk, yang pernah dipakai bapakku dulu ketika masih menjadi anggota geng Stutz Bearcat pada tahun 1925.
“Holy Toledo![5]” seru Petey dengan hormat. Dia merengkuh mantel raccoon itu kemudian membawanya ke mukanya. “Holy Toledo!” serunya berulang-ulang lima belas atau duapuluh kali.
“Mau?” tanyaku.
“Oh, tentu!” teriaknya, sambil mencengkeram kulit bulu itu dan membawanya ke dadanya. Kemudian tatapan licik terlihat di matanya. “Apa yang kamu inginkan untuk ini?”
“Gadismu,” kataku tanpa berbelit-belit. “Polly?” tanyanya dengan bisikan yang menakutkan.
“Benar.”
Dia melempar mantel itu. “Tidak akan,” katanya dengan keras.
Aku mengangkat bahu. “Okey. Jika kamu tidak mau dianggap populer, aku pikir itu adalah urusanmu.”
Aku kemudian duduk di kursi dan pura-pura membaca buku, tetapi melalui sudut mataku aku terus memperhatikan Petey. Dia kelihatan terluka. Pertama-tama dia melihat ke arah mantel itu dengan ekspresi seperti anak terlantar di toko roti. Kemudian di berpaling dan mengertakkan rahangnya dengan tegas. Kemudian dia kembali menatap mantel itu dengan ekspresi yang lebih merana lagi di mukanya. Kemudian dia berpaling, tapi kali ini tanpa ketegasan. Bolak balik kepalanya menggeleng-geleng –nafsunya menyala, ketegasannya semakin berkurang. Akhirnya dia tidak berpaling lagi sama sekali; dia hanya berdiri dan melotot dengan nafsu yang menggila pada mantel itu.
“Aku tidak mencintai Polly,” katanya dengan tegas. “Aku juga tidak berpacaran atau semacam itu dengannya.”
“Benar,” gumamku.
“Apa artinya Polly bagiku, atau apa artinya aku bagi Polly?”
“Tidak ada,” kataku.
“Kami hanya berteman biasa, ngobrol, ketawa-ketawa, hanya itu.”
“Cobalah mantel itu,” kataku.
Dia menurut. Mantel itu membungkusnya tinggi melebihi telinganya dan jatuh ke atas sepatunya. Dia kelihatan seperti gundukan bangkai raccoon. “Sangat cocok,” katanya dengan senang.
Aku bangun dari kursiku. “Is it a deal?” kataku, sambil mengulurkan tangan.
Dia menelan ludah. “It’s a deal,” katanya, dan menjabat tanganku.
(tobe continued)
[1] Dibaca / rakun/. Binatang seperti kucing. Kulitnya yang berbulu tebal bisa dipakai untuk membuat mantel
[2] Dibaca /aetik/ sebuah ruang kecil di bawah atap rumah, biasanya dipakai sebagai gudang atau kamar (loteng)
[3] Sikap ketika berada di meja makan
[4] Rumah makan dekat kampus di Minnesota University.
[5] Holy Toledo adalah kata seru yang biasa diucapkan ketika seseorang senang dan tidak bisa mengucapkan kata-kata. (artinya kira-kira: Puji Tuhan)
Sekolah dan Blogging
Ketika blogging sudah menjadi tradisi, seharusnya sekolah bisa menjadi pusat bertemunya para blogger lokal.
Gagasan itu telah lama mengganggu pikiran saya. Sebagai seorang guru yang mengajarkan TIK di sebuah SMA Negeri, saya merasa blogging memiliki manfaat yang sangat besar bagi perkembangan siswa.
Secara akademis, dengan blogging, siswa dapat meningkatkan kemampuan menulis. Mengekspresikan gagasan secara tertulis adalah hal yang mutlak bagi para intelektual modern.
Beberapa manfaat lain yang bisa diperoleh adalah:
Gagasan itu telah lama mengganggu pikiran saya. Sebagai seorang guru yang mengajarkan TIK di sebuah SMA Negeri, saya merasa blogging memiliki manfaat yang sangat besar bagi perkembangan siswa.
Secara akademis, dengan blogging, siswa dapat meningkatkan kemampuan menulis. Mengekspresikan gagasan secara tertulis adalah hal yang mutlak bagi para intelektual modern.
Beberapa manfaat lain yang bisa diperoleh adalah:
- Siswa bisa mengekspresikan dirinya melalui media graphis (tulis, foto, gambar, video, suara, etc.)
- Siswa bisa bertukar pikiran dengan para blogger di seluruh dunia
- Siswa bisa menambah pengalaman dan teman dari seluruh dunia
- Siswa bisa menuangkan ide-ide tentang sesuatu dan bisa mendapatkan feedback dari para pembaca
- Bisa memiliki penghasilan sambil bersekolah (tanpa mengganggu aktifitas belajar)
- Dan masih banyak lagi
Untuk itu, sekolah perlu mengambil langkah-langkah konkret dalam mendorong siswa untuk menjadi blogger.
Ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan sekolah dalam menfasilitasi siswa menjadi blogger yang mumpuni, diantaranya:
- Siswa diharuskan untuk memberi komentar terhadap sebuah tulisan di blog
- Siswa didorong untuk memiliki blog sendiri
- Tugas mengarang dalam mata pelajaran Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia ditulis dan di-posting di blog masing-masing dan dikirim ke website sekolah untuk dipublikasikan.
- Guru mata pelajaran lain juga bisa meminta murid untuk menulis essay dan diposting di blognya masing-masing
- Sekolah mengadakan lomba blog (aspek yang dinilai; tulisan, tampilan, kerajinan, dan aspek-aspek lain yang bisa ditentukan sekolah)
- Sekolah bisa menfasilitasi pertemuan para siswa dengan blogger kaliber nasional
Mungkin akan ada kesulitan-kesulitan ketika pertama kali mencobanya, namun dengan latihan dan bantuan teman-teman dan guru, saya yakin, siswa akan improve dengan cepat. Saya bermimpi bahwa pada suatu hari nanti, sekolah-sekolah kita tidak lagi dibatasi "tembok-tembok tinggi dari sebuah menara gading", tapi merupakan sebuah dunia yang seluas dunia nyata.
Selasa, 25 November 2008
Kamu dan Tirani
Adakah aku di hatimu,
ketika benciku memelukmu,
meraba tubuhmu dalam birahi marahku,
tinggalkan aku yang lebur dalam badaimu.
Kutemukan cintamu merajaiku,
menjajah imajiku hanya untukmu,
lenyapkan inginku pada embun pagi dan pelangi,
kamulah tirani hatiku.
Berilah aku secawan cintamu,
untuk kureguk dalam sekejap,
atau kusimpan juga untuk nanti,
saat kau lupakan cintamu.
Kutunggu reda badaimu,
entah sampai kapan.
ketika benciku memelukmu,
meraba tubuhmu dalam birahi marahku,
tinggalkan aku yang lebur dalam badaimu.
Kutemukan cintamu merajaiku,
menjajah imajiku hanya untukmu,
lenyapkan inginku pada embun pagi dan pelangi,
kamulah tirani hatiku.
Berilah aku secawan cintamu,
untuk kureguk dalam sekejap,
atau kusimpan juga untuk nanti,
saat kau lupakan cintamu.
Kutunggu reda badaimu,
entah sampai kapan.
Langganan:
Postingan (Atom)