Sebuah Essay dari Max Shulman, dengan judul Love is a Fallacy, tentang kekeliruan dalam berbahasa. Patut dibaca bagi mereka yang ingin menjadi pengacara, hakim, guru, konsultan, dsb.
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Selong
Tulisan ini bisa dibaca dengan judul Love is a Fallacy di http://gururidho.multiply.com
Kencan pertamaku dengan Polly berlangsung malam itu juga. Rasanya seperti sebuah survey; Aku ingin tahu seberat apa usaha yang harus aku lakukan untuk membuka wawasannya, membuatnya smart sehingga mencapai standard yang aku persyaratkan. Pertama kali aku membawanya makan malam. “Gee[1], itu makan malam yang lezat sekali,” katanya ketika kami baru saja meninggalkan restoran. Kemudian aku membawanya ke bioskop. “Gee. Itu tadi filmnya bagus sekali,” katanya ketika kami meninggalkan bioskop. Kemudian aku mengantarnya pulang. “Gee. Malam ini benar-benar luar biasa bagiku,” katanya ketika dia mengucapkan selamat malam padaku.
Aku kembali ke kamarku dengan hati berat. Aku telah dengan sembrono mengentengkan bebanku. Kekurangan informasi yang dimiliki gadis ini mengerikan. Tidak akan cukup dengan hanya menyuapinya dengan informasi saja. Pertama-tama dia harus diajarkan bagaiman harus berpikir. Terbayang bahwa ini bukan sebuah proyek yang berdimensi kecil, dan ini membuatku pada awalnya tergoda untuk mengembalikannya kepada Petey. Tetapi kemudian terbayang dalam benakku pesonanya yang berlimpah ruah dan gayanya ketika memasuki ruangan, gayanya ketika memegang pisau dan garpu, dan aku memutuskan untuk terus berusaha.
Aku melakukannya, seperti dalam segala hal, secara sistematis. Aku memberinya kursus logika. Karena aku, sebagai mahasiswa hukum, mengambil mata kuliah logika, jadi segala hal yang aku perlukan sudah ada di ujung jariku. “Polly,” kataku ketika aku menjemputnya untuk kencan kami yang berikutnya, “malam ini kita akan ke Knoll dan bicara.”
“Oo, luar biasa,” jawabnya. Satu hal yang ingin ku katakan pada gadis ini: kamu akan lihat nanti, mungkin kami tidak akan begitu senang.
Kami pergi ke Knoll, tempat rekreasi yang paling ramai di kampus, dan kami duduk di bawah sebuah pohon ek yang sudah tua, dan dia menatapku dengan tatapan yang penuh harapan. “Apa yang akan kita bicarakan?” tanyanya.
“Logika.”
Dia berpikir untuk beberapa menit dan memutuskan bahwa dia menyukainya. “Menyenangkan,” ujarnya.
“Logika,” kataku, berdehem membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba gatal, “adalah ilmu berfikir. Sebelum kita dapat berpikir dengan benar, pertama kali kita harus belajar mengenal kesalahan umum dalam logika. Inilah yang akan kita latih malam ini.”
“Wow-hoo!” jeritnya, bertepuk tangan dengan gembira.
Aku berjenggit, tapi dengan berani terus memulai. “Pertama-tama marilah kita pelajari kesalahan yang disebut Dicto Simpliciter.”
“Apa artinya itu?” desaknya, sambil matanya berkedip-kedip.
Dicto Simpliciter berarti argumen yang berdasarkan generalisasi yang tidak memenuhi syarat (unqualified generalization). Sebagai contoh: Olahraga itu bagus. Oleh karena itu semua orang harus berolahraga.”
“Aku setuju,” kata Polly dengan jelas. “Maksudku, olahraga itu luar biasa. Maksudku, dia membentuk tubuh dan segalanya.”
“Polly,” kataku dengan lembut, “argumen itu adalah sebuah kesalahan. Olahraga itu baik adalah sebuah generalisasi yang tidak memenuhi syarat. Misalkan kamu memiliki penyakit jantung, olah raga itu jelek bagimu, tidak bagus. Banyak orang yang diperintahkan oleh dokter mereka untuk tidak berolahraga. Kamu harus mensyaratkan generalisasi itu. Kamu harus mengatakan olahraga biasanya baik atau olahraga baik untuk kebanyakan orang. Kalau tidak maka kamu telah melakukan Dicto Simpliciter. Mengerti?”
“Tidak,” akunya. “Tapi ini hebat sekali. Lagi! Lagi!”
“Sebaiknya kamu tidak menarik-narik lengan bajuku,” aku memberitahunya, dan ketika dia sudah berhenti, aku melanjutkan. “Berikutnya kita akan membahas tentang kekeliruan yang bernama Hasty Generalization (Generalisasi Tergesa-Gesa). Dengarkan baik-baik: Kamu tidak bisa berbahasa Perancis. Petey Burch tidak bisa berbahasa Perancis. Oleh karena itu kemudian saya menyimpulkan bahwa tidak ada seorangpun di Universitas Minnesota yang bisa berbahasa Perancis.”
“Benarkah?” tanya Polly, heran. “Tidak ada?”
Aku menyembunyikan kejengkelanku. “Polly, itu adalah kekeliruan. Kita terlalu cepat sampai generalisasi. Terlalu sedikit contoh yang kita ambil untuk mendukung kesimpulan seperti itu.”
“Ada kekeliruan yang lain?” dia bertanya menahan nafas. “Hal ini bahkan lebih menyenangkan daripada berdansa.”
Aku memerangi gelombang rasa putus asa. Tidak ada kemajuan yang aku dapatkan bersama gadis ini, benar-benar tidak ada. Meski begitu, Bukan aku kalau tidak gigih. Aku lanjutkan. “Yang berikutnya adalah Post Hoc. Dengarkan contoh berikut ini: Jangan kita ajak Bill pergi piknik. Setiap kali kita mengajaknya keluar, selalu saja turun hujan.”
“Aku tahu seseorang yang seperti itu,” serunya. “Gadis tetangga belakang rumah – Eula Becker, namanya. Tidak pernah tidak. Setiap kali kami mengajaknya piknik –”
“Polly,” sentakku tajam, “itu adalah kekeliruan. Eula Becker tidak menyebabkan hujan. Dia tidak ada hubungannya dengan hujan. Kamu keliru dengan Post Hoc jika kamu menyalahkan Eula Becker.”
“Aku tidak akan melakukannya lagi,” katanya dengan nada yang sangat menyesal. “Kamu marah sama aku?”
Aku menghela nafas dalam-dalam. “Tidak, Polly. Aku tidak marah.”
“Kalau begiu beritahu aku kekeliruan logika lagi.”
“Baiklah. Mari kita lanjutkan dengan Contradictory Premises (Premis berlawanan).”
“Ya, mari,” kicaunya, mengedip-ngedipkan matanya dengan gembira.
Aku mengerutkan dahi dan melanjutkan. “Ini adalah contoh dari Contradictory Premises. Jika Tuhan dapat melakukan apa saja, dapatkah Dia membuat sebuah batu yang sangat berat, yang sedemikian beratnya sampai Dia sendiri tidak sanggup untuk mengangkat batu itu?”
“Tentu saja dia bisa membuat batu seperti itu,” jawabnya tanpa berpikir.
“Tetapi jika Dia bisa melakukan apa saja, berarti dia bisa mengangkat batu itu,” aku tunjukkan kekeliruannya.
“Yeah,” katanya sambil berpikir. “Kalau begitu, aku kira Dia tidak bisa membuat batu itu.”
“Tapi Dia bisa membuat apa saja,” aku mengingatkannya.
Dia menggaruk-garuk kepalanya yang bagus tapi kosong itu. “Aku benar-benar bingung,” akunya.
“Tentu saja kamu bingung. Karena premis dan argumen berlawanan satu sama lain, jadi tidak bisa ada argumen. Jika ada kekuatan yang tidak ada batasnya, tentu tidak ada benda yang tidak bisa angkat. Jika ada benda yang tidak bisa diangkat, tentu tidak ada kekuatan yang tidak terbatas. Mengerti?”
“Beritahu aku lagi tentang bahan yang sangat menyenangkan ini,” katanya dengan gembira.
Aku memeriksa jam tanganku. “Aku pikir ini sudah malam. Aku akan mengantarmu pulang sekarang, dan pikirkan lagi apa yang sudah kamu pelajari malam ini. Kita akan ketemu lagi besok malam.”
Aku mengantarnya sampai asrama wanita, dia meyakinkanku bahwa dia benar-benar telah melewati malam yang sempurna, dan aku kembali ke kos ku dengan perasaan murung. Petey tidur mendengkur di atas tempat tidurnya, dan mantel raccoon menumpuk seperti seekor binatang berbulu yang besar di kakinya. Untuk beberapa waktu aku menimbang-nimbang untuk membangunkannya dan memberitahukan bahwa dia bisa mengambil kembali gadisnya. Tampak jelas bahwa proyekku telah berakhir dengan kegagalan. Gadis itu tampaknya memiliki otak-anti-logika.
Tapi kemudian aku menimbang ulang. Aku telah menyia-nyiakan satu malam; Aku mungkin akan menyia-nyiakan satu malam lagi. Siapa tahu? Mungkin di satu tempat di dalam kawah otaknya yang sudah mati, masih ada bara yang menyala. Mungkin dengan entah bagaimana aku bisa mengipas bara itu menjadi api. Harus diakui bahwa ini bukanlah kemungkinan yang memiliki kesempatan berhasil, tapi aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi.
Duduk di bawah pohon ek yang sama malam berikutnya, aku berkata, “Kekeliruan kita yang pertama malam ini disebut Ad Misericordiam.”
Dia menggigil saking senangnya.
“Dengar baik-baik,” kataku. “Seorang laki-laki melamar pekerjaan. Ketika pimpinan perusahaan menanyakan kualifikasinya, dia menjawab bahwa dia punya istri dan enam orang anak di rumah, istrinya lumpuh berat, anak-anak tidak punya makanan untuk dimakan, tidak punya pakaian untuk dipakai, tidak punya sepatu, tidak ada tempat tidur di rumahnya, tidak ada batubara di gudang, dan musim dingin sudah menjelang.”
Air mata mengalir di kedua pipi Polly yang merah muda. “Oh, ini menyedihkan, menyedihkan,” isaknya.
“Ya, ini memang menyedihkan,” aku setuju, “tetapi itu bukan argumen. Laki-laki itu tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh bos perusahaan itu tentang kualifikasi pekerjaannya. Melainkan dia menarik simpati bos itu. Dia telah melakukan kekeliruan Ad Misericordiam. Mengerti?”
“Punya sapu tangan?” katanya sambil menangis.
Aku mengangsurkan sapu tangan padanya dan mencoba utuk tidak berteriak ketika dia menghapus matanya. “Berikutnya,” kataku dengan nada yang terkontrol dengan cermat, “kita akan mendiskusikan tentang False Analogy (Analogi Salah). Ini contohnya: Siswa seharusnya dibiarkan untuk melihat catatan mereka ketika ujian. Karena toh, dokter bedah melihat hasil rontgen yang memandu mereka ketika melakukan operasi, para pengacara punya ringkasan yang memandu mereka selama pengadilan berlangsung, para tukang bangunan punya gambar yang memandu mereka ketika mereka membuat rumah. Kenapa, kemudian, siswa tidak diizinkan untuk melihat buku catatan mereka dalam ujian?”
“Nah, itu,” katanya dengan penuh antusias, “adalah gagasan yang paling hebat yang pernah aku dengar dalam tahun ini.”
“Polly,” kataku dengan tidak sabar, “argument itu semuanya salah. Dokter, pengacara, dan tukang bangunan tidak sedang menguji untuk melihat apa saja yang sudah mereka pelajari, sedangkan siswa ya. Situasinya berbeda jauh, dan kamu tidak dapat menarik analogi di antara mereka.”
“Tapi tetap aku merasa itu adalah ide yang bagus,” kata Polly.
“Bodoh,” gerutuku. Dengan menguatkan hati aku kembali melanjutkan. “Berikut ini kita akan mencoba Hypothesis Contrary to Fact (Hipotesa Berlawanan dengan Fakta).”
“Kedengarannya asyik,” sambut Polly.
“Dengarkan: Jika Madame Currie tidak meninggalkan lembaran plat foto di dalam laci bersama bongkahan bijih Uranium, dunia sekarang ini tidak akan tahu tentang Radium.”
“Benar, benar,” kata Polly, sambil menganggukkan kepalanya. “Apakah kamu menonton filmnya? Oh, film itu membuatku pingsan. Itu lho, si Walter Pidgeon begitu hebat. Maksudku dia membuatku hancur.”
“Jika kamu dapat melupakan Walter Pidgeon untuk sementara,” kataku dengan dingin, “aku akan menunjukkan bahwa pernyataan tersebut adalah kekeliruan. Mungkin Madame Currie akan menemukan Radium beberapa saat kemudian. Mungkin beberapa hal terjadi. Mungkin juga orang lain yang akan menemukan Radium. Kamu tidak dapat memulai hipotesa yang tidak benar kemudian menarik kesimpulan yang mendukung darinya.”
“Mereka harus memberi peran yang lebih banyak lagi buat Walter Pidgeon pada film-film yang lain,” kata Polly. “Jarang sekali aku melihatnya di film lagi.”
Satu kesempatan lagi, aku putuskan. Tapi hanya satu kesempatan lagi. Ada batas bagi daging dan darah untuk dapat bertahan. “Kekeliruan berikutnya disebut Poisoning Well (Meracun Sumur).”
“Manis sekali!” dia mendeguk.
“Dua orang sedang berdebat. Orang pertama berdiri dan mengatakan, ‘Lawan debatku ini terkenal sebagai pembohong. Kamu tidak dapat mempercayai apa yang akan dikatakannya sepatah katapun.’ Sekarang, Polly, pikirkan. Pikirkan dengan sungguh-sungguh. Apa yang salah?”
Aku menatapnya lekat-lekat ketika dia menyulam dahinya yang berwarna krem karena berkonsentrasi. Tiba-tiba, samar-samar aku bisa melihat cahaya intelegensi – yang pertama kali yang pernah kulihat – nampak di matanya. “Itu tidak adil,” katanya dengan jengkel. “Itu tidak adil sedikitpun. Kesempatan apa yang dimiliki oleh orang yang kedua jika orang yang pertama mengatakannya sebagai seorang pembohong bahkan sebelum dia memulai berbicara?”
“Benar!” teriakku dengan sangat gembira. “Seratus persen benar. Itu tidak adil. Orang pertama telah meracuni sumur itu sebelum orang lain dapat minum darinya. Dia telah melumpuhkan lawannya bahkan sebelum dia mulai. Polly, aku bangga padamu.”
“Pshaw[2],” dia komat-kamit, merah karena gembira.
“Kamu paham sekarang, sayang, masalah ini tidak terlalu berat. Yang kamu butuhkan hanya konsentrasi. Berpikir – menguji – menilai. Mari sekarang, mari kita ulang lagi apa yang udah kita pelajari.”
“Api telah padam,” katanya sambil mengipas-ngipas dengan tangannya.
Berbesar hati karena ternyata Polly tidak kerdil sama sekali, aku mengulang dengan sabar apa yang pernah aku ajarkan padanya dari awal. Lagi dan lagi kukutip beberapa contoh, menunjukkan kekurangan-kekurangan, terus menempa tanpa henti. Rasanya seperti menggali terowongan. Pada awalnya semuanya adalah kerja berat, keringat, dan kegelapan. Aku tidak punya gagasan kapan aku akan mencapai cahaya, atau bahkan aku tidak tahu apakah aku akan bertemu cahaya. Tapi akau bertahan. Aku teras menggali, mencakar, membongkar, dan akhirnya aku berhasil. Aku melihat secercah cahaya, kemudian cahaya itu semakin besar dan besar dan akhirnya cahaya matahari menerobos masuk, dan semuanya menjadi terang.
Lima malam yang meletihkan, tapi sekarang terbukti tidak sia-sia. Aku telah berhasil membuat Polly menjadi logis; aku telah mengajarinya berpikir. Tugasku telah selesai. Akhirnya dia berharga bagiku. Dia akan menjadi istri yang cocok bagiku, nyonya rumah yang tepat bagi rumah gedungku, dan akan menjadi ibu yang tepat bagi anak-anakku yang terdidik.
Tentu saja tidak boleh ada pikiran bahwa aku tidak ada cinta sama gadis ini. Benar-benar kebalikannya. Seperti Pygmaleon yang mencintai wanita sempurna yang telah dia berikan pakaian, demikian juga dengan aku. Aku memutuskan untuk memperkenalkannya dengan perasaanku pada pertemuan berikutnya. Saatnya sudah datang untuk mengubah hubungan kami dari akademik menjadi romantik.
(tobe continued)
[1] /gi:/ Tuhan! (kata seru) singkatan dari God!
[2] Puih! (kata seru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar