Selasa, 17 Maret 2009
Setelah dua kali menjabat, Gorge W Bush Jr. akhirnya menyelesaikan jabatannya sebagai presiden yang dikenal berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Bahkan ketika dia akan mengakhiri jabatannya, dia sempat termenung susah, sedih, bingung, geram, kesal karena perangnya belum selesai dan dia harus meninggalkan gedung putih yang selama ini telah memberinya legalitas dan kepuasan berperang. The show is now over, Mr. Bush. So just from now on beat around the bush (bertele-tele).
Senin, 16 Maret 2009
Istikharah Tuan Guru
Di masa reformasi, tuan guru telah menjadi "pemain politik" yang berhasil dengan kompetensi langit (samawi) yang dimilikinya (bandingkan dengan politikus di negara lain yang harus membangun karir politiknya dengan ilmu-ilmu duniawi di sekolah dan universitas-universitas terkenal). Dengan semakin dekatnya hari PEMILU, 9 April 2009, tuan guru semakin laris mendapat kunjungan dari caleg-caleg atau team sukses. Kunjungan dari caleg dan team sukses ini bukan karena mereka mau belajar ilmu samawi, namun mereka datang karena mau mendapatkan simpati dari si tuan guru dan pada akhirnya akan mendapatkan dukungan suara dari para pengikut.
Ada beberapa bisik-bisik di sekitar tempat tinggal (gedeng: bhs halus lokal yang berarti rumah) bahwa derajat ketuan-guruan bisa juga dilihat dari siapa yang datang. Bila yang datang adalah tokoh nasional, maka derajat tuan guru tersebut adalah nasional. Bila yang datang "hanya" tokoh lokal maka derajatnya juga ditentukan oleh itu. Dari situ perang psikologis dari para pengikut tuan guru A dengan pengikut tuan guru B dimulai. Komentar saya seh...payah juga kalo ngukur derajat orang dari apa yang terlihat doang.
Tetapi keputusan tuan guru untuk memilih atau tidak memilih caleg A atau capres A adalah sebuah pilihan terbuka, yang tentu saja didasarkan kepada kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Tetapi yang jelas, pilihan tuan guru diyakini oleh para pengikut adalah sebagai pilihan terbaik sebagai hasil "komunikasi dengan Tuhan", (istikharah), karena seperti keghaliban umum bahwa masyarakat Lombok sudah mempercayakan pilihan, jalan hidup, bahkan akhir hidupnya pada pilihan dan keputusan tuan gurunya. Hal ini karena mereka percaya bahwa tuan guru adalah sosok yang lebih dekat dengan Tuhan daripada diri mereka sendiri.
Tetapi ada satu hal yang mengusik keyakinan saya, bahwa bagaimana mungkin Tuhan yang sama tempat para tuan guru bertanya lewat media istikharah memberikan pilihan yang berbeda-beda?
Ketika hal ini saya ajukan, ternyata saya mendapatkan jawaban yang berbeda-beda, dari yang fanatisme sampai yang apriori. Ini adalah beberapa jawaban yang saya terima:
- Dari sini kita bisa tahu kedekatan tuan guru dengan Tuhan. Jika pilihan mereka menang pemilu, berarti petunjuk yang beliau terima benar-benar dari Tuhan. Padahal jawaban ini bisa mengundang kontroversi karena berarti pilihan tuan guru yang salah menunjukkan bahwa tuan guru yang bersangkutan tidak dekat dengan Tuhan??? Masya Allah.
- Mungkin saja Tuhan tempat tuan guru A meminta berbeda dengan Tuhan tempat tuan guru B memohon. Weleh weleh, ini lebih ekstrem lagi. Ya jelas dong, namanya tuan guru Islam, Ilahnya hanya satu.
- Mungkin tuan guru itu gak istikharah, ngakunya doang istikharah. Saya seh berprasangka baik aja, bahwa tuan guru tidak mungkin bohong. Apaplagi bohongnya kepada orang banyak dengan bersandar kepada Allah lagi. Gak mungkin lah.
- Mungkin saja saat istikharah itu pikirannya gak khusyu' karena inget besar uang yang sudah diterima plus janji calon kalau menang besok, jadi seolah-olah pertanda yang dilihat datangnya dari Allah, padahal itu imajinasinya tuan guru aja. Lho...gak boleh berprasangka gitu. Tuan guru itu kan orangnya gak materialis, sederhana, gak neko-neko. Tujuan hidupnya hanya untuk Allah. Jadi gak mungkin gak khusyu'.
- Dalam istikharah itu kan doanya begini: ......jika menurutMu urusan ini/hal ini baik bagiku..... Nah hasil istikharah bisa beda karena yang baik bagi tuan guru A, belum tentu baik bagi tuan guru B. (Ini lebih masuk akal kayaknya)
Jumat, 13 Maret 2009
Ujian Nasional
Ujian Nasional sebentar lagi akan dilaksanakan untuk siswa SMA/MA/SMK, dilanjutkan dengan SMP/MTs, dan baru kemudian SD/Ibtidaiyah. Meskipun Ujian Nasional adalah acara rutin, yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1984 (ketika masih bernama EBTANAS), namun selalu saja Ujian Nasional menjadi uji psikologis (baca: mimpi buruk) bagi semua komponen yang terlibat. Sekolah, Siswa, dan orang tua.
Perdebatan tentang keabsahan Ujian Nasional yang menentukan keberhasilan belajar siswa selama 3 tahun, dan keabsahan pengujian yang agak aneh (mengingat fungsi guru, merencanakan, menyajikan, mengevaluasi) karena siapa yang mengajar siapa yang menguji, berlangsung sengit di setiap tingkatan dengan justificasi dan endorsement yang semuanya terdengar masuk akal, namun Ujian Nasional tetap saja dilaksanakan dengan segala caci maki dan acungan jempolnya (dari para pencaci dan pendukung yang sama-sama tidak sedikit jumlahnya).
Menghadapi Ujian Nasional, bisa menyebabkan orang menjadi tidak rasional. Jangankan siswa, yang memang diuji. Bahkan tokoh masyarakat seperti Bupati yang tidak ikut ujian saja ada yang menjadi tidak rasional dengan target-target persentase kelulusan yang benar-benar tidak masuk akal. Salah satu contohnya adalah angka target kelulusan untuk sekolah-sekolah di Kabupaten Lombok Timur > 90% (mungkin ini akan menjadi contoh real dari kesuksesan pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan sehingga bisa jadi bahan kampanye untuk periode berikutnya). Mengingat ini tahun pertama (belum genap setahun Bapak Sukiman Azmi menjadi Bupati) tentu saja target ini terlalu tinggi, karena belum ada satu pun hal yang dilakukan beliau untuk kemajuan pendidikan, kecuali rencana-rencana yang masih ada di kepala atau masih berupa konsep (meningkatkan anggaran pendidikan dari APBD, memperbaiki fasilitas sekolah, melengkapi laboratorium dan perpustakaan sekolah, merintis SBI, merintis Boarding School, memutasi kepala sekolah dan guru-guru) yang belum semuanya terealisasi. Jadi bagi saya, tentu saja aneh meminta hasil baik hanya karena sudah ada konsep pembangunan yang akan dilakukan. Sekali lagi, semua rencana itu, akan dilakukan. Akan dilakukan tapi hasilnya sudah harus ada???? o la la).
Target ini tentu saja ada sisi positifnya, mencemeti semua pihak supaya benar-benar kerja keras mengejar target tersebut. Bagi sekolah yang memiliki dana cukup, tentu saja kerja keras ini tidak terlalu bermasalah, karena (1) sekolah kaya, artinya intake siswa di atas rata-rata, (2) sekolah kaya, artinya fasilitas memadai, (3) sekolah kaya, artinya mampu membayar guru untuk melakukan pengayaan yang artinya income tambahan bagi pengelola. Tapi bagi sekolah yang "miskin", target 90% menyebabkan para guru harus kena cemeti dalam pengartian secara harfiah. Mereka harus bersedia kerja rodi (ada yang masih ingat film kerja rodi gak seh? pekerjanya itu harus dicemeti, lho).
Selain kerja rodi, ada juga cara-cara dan wejangan-wejangan yang kadang tidak masuk akal, aneh dan bisa mengundang keprihatinan kalau bukan tertawaan. Seperti berikut ini:
1. Bagi siswa yang tidak bisa belajar dengan baik, tidak cepat mengerti, lebih baik kalian memperbanyak do'a, karena do'a bisa merubah takdir seseorang. (Sepintas lalu, tidak ada yang salah dengan nasihat itu. Tapi tujuan akhir belajar adalah untuk meningkatkan intelektual seseorang. Bukan untuk lulus)
2. Sebelum memulai kegiatan pengayaan, orang tua (terutama ibu) siswa harus datang ke sekolah untuk berdo'a bersama, mendo'akan anaknya supaya lulus ujian. (Lagi-lagi seperti alasan untuk kegiatan nomor 1 yang tujuannya adalah lulus. Selain itu, do'a bersama seperti itu juga tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah).
3. Mempersiapkan nomor HP, atau "strategi" menyontek lainnya yang harus terlihat seperti "bermain cantik?".
4. Pergi ke makam wali, tuan guru, makam-makam keramat lainnya untuk minta doa (besangi; bhs Sasak), yang menjurus kepada syirik.
5. Dan anehnya, tidak hanya guru dan murid, serta orang tua siswa yang tidak logis. Untuk mengantisipasi kebocoran dan pelanggaran dalam penyelenggaraan UN, pemerintah harus meminta bantuan DENSUS Anti Teror 88 untuk mengawasi dan menangkapi para guru, kalau perlu. Artinya, para guru dianggap tidak kurang berbahanya dari teroris internasional.
Akhirnya renungan kita seharusnya adalah, bagaimana membangun semua sekolah dengan standard mutu nasional untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kebutuhan nasional adalah, manusia yang terampil, berpengetahuan, tidak berfikir individual, tahan banting, tanggap situasi dan kondisi, siap bekerja untuk kemajuan bangsa dengan bayaran yang memadai, dan bertaqwa kepada Tuhan (yang ditunjukkan dengan cara tidak korupsi).
Langganan:
Postingan (Atom)