Di masa reformasi, tuan guru telah menjadi "pemain politik" yang berhasil dengan kompetensi langit (samawi) yang dimilikinya (bandingkan dengan politikus di negara lain yang harus membangun karir politiknya dengan ilmu-ilmu duniawi di sekolah dan universitas-universitas terkenal). Dengan semakin dekatnya hari PEMILU, 9 April 2009, tuan guru semakin laris mendapat kunjungan dari caleg-caleg atau team sukses. Kunjungan dari caleg dan team sukses ini bukan karena mereka mau belajar ilmu samawi, namun mereka datang karena mau mendapatkan simpati dari si tuan guru dan pada akhirnya akan mendapatkan dukungan suara dari para pengikut.
Ada beberapa bisik-bisik di sekitar tempat tinggal (gedeng: bhs halus lokal yang berarti rumah) bahwa derajat ketuan-guruan bisa juga dilihat dari siapa yang datang. Bila yang datang adalah tokoh nasional, maka derajat tuan guru tersebut adalah nasional. Bila yang datang "hanya" tokoh lokal maka derajatnya juga ditentukan oleh itu. Dari situ perang psikologis dari para pengikut tuan guru A dengan pengikut tuan guru B dimulai. Komentar saya seh...payah juga kalo ngukur derajat orang dari apa yang terlihat doang.
Tetapi keputusan tuan guru untuk memilih atau tidak memilih caleg A atau capres A adalah sebuah pilihan terbuka, yang tentu saja didasarkan kepada kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Tetapi yang jelas, pilihan tuan guru diyakini oleh para pengikut adalah sebagai pilihan terbaik sebagai hasil "komunikasi dengan Tuhan", (istikharah), karena seperti keghaliban umum bahwa masyarakat Lombok sudah mempercayakan pilihan, jalan hidup, bahkan akhir hidupnya pada pilihan dan keputusan tuan gurunya. Hal ini karena mereka percaya bahwa tuan guru adalah sosok yang lebih dekat dengan Tuhan daripada diri mereka sendiri.
Tetapi ada satu hal yang mengusik keyakinan saya, bahwa bagaimana mungkin Tuhan yang sama tempat para tuan guru bertanya lewat media istikharah memberikan pilihan yang berbeda-beda?
Ketika hal ini saya ajukan, ternyata saya mendapatkan jawaban yang berbeda-beda, dari yang fanatisme sampai yang apriori. Ini adalah beberapa jawaban yang saya terima:
- Dari sini kita bisa tahu kedekatan tuan guru dengan Tuhan. Jika pilihan mereka menang pemilu, berarti petunjuk yang beliau terima benar-benar dari Tuhan. Padahal jawaban ini bisa mengundang kontroversi karena berarti pilihan tuan guru yang salah menunjukkan bahwa tuan guru yang bersangkutan tidak dekat dengan Tuhan??? Masya Allah.
- Mungkin saja Tuhan tempat tuan guru A meminta berbeda dengan Tuhan tempat tuan guru B memohon. Weleh weleh, ini lebih ekstrem lagi. Ya jelas dong, namanya tuan guru Islam, Ilahnya hanya satu.
- Mungkin tuan guru itu gak istikharah, ngakunya doang istikharah. Saya seh berprasangka baik aja, bahwa tuan guru tidak mungkin bohong. Apaplagi bohongnya kepada orang banyak dengan bersandar kepada Allah lagi. Gak mungkin lah.
- Mungkin saja saat istikharah itu pikirannya gak khusyu' karena inget besar uang yang sudah diterima plus janji calon kalau menang besok, jadi seolah-olah pertanda yang dilihat datangnya dari Allah, padahal itu imajinasinya tuan guru aja. Lho...gak boleh berprasangka gitu. Tuan guru itu kan orangnya gak materialis, sederhana, gak neko-neko. Tujuan hidupnya hanya untuk Allah. Jadi gak mungkin gak khusyu'.
- Dalam istikharah itu kan doanya begini: ......jika menurutMu urusan ini/hal ini baik bagiku..... Nah hasil istikharah bisa beda karena yang baik bagi tuan guru A, belum tentu baik bagi tuan guru B. (Ini lebih masuk akal kayaknya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar