Pada suatu saat di sebuah negeri yang dilintasi khatulistiwa bertahtalah seorang Raja yang menjadi idola kaum ibu dan sebagian besar perempuan negeri itu. Mungkin kaum perempuan itu tersihir oleh wajahnya yang ganteng, tubuhnya yang tinggi tegap, dan senyumnya yang tidak pernah lepas dari bibirnya, ditambah dengan gaya bicaranya yang santun.
Dalam era pemerintahan sang raja yang disukai oleh lebih dari 60% rakyatnya itu, rakyat sangat berharap dia bisa merubah negeri yang kaya raya, namun penduduknya miskin-miskin karena dijual oleh raja-raja sebelumnya, menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat di sekitar Raja bisa dibersihkan sehingga uang yang seharusnya bisa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat bisa disalurkan ke sasaran yang tepat pada waktu yang tepat.
Namun entah karena murka Tuhan atau karena memang kutukan bawaan sang Raja, bencana demi bencana mulai menimpa negeri itu. Mulai dari banjir besar, gempa, tanah longsor, dan banyak lagi jenis bencana terus menerus mengiringi pemerintahan sang Raja. Sang Raja yang dulu banyak berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya menjadi tidak berdaya. Alih-alih mengirim bantuan untuk rakyatnya yang menderita, sang Raja memilih untuk banyak melakukan jalan-jalan ke luar negeri, yang dalam bahasa sang Raja: menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara sahabat.
Sayagnya, sahabat-sahabat yang dikunjungi sang Raja adalah sahabat-sahabat yang culas. Mereka tersenyum dan mendukung pemerintahan raja, tapi di belakangnya lain. Ada sahabat yang menawarkan bantuan tapi harus dikembalikan dalam bentuk kekayaan alam yang bisa dikuasai mereka sampai tujuh turunan. Ada juga yang menwarkan bantuan hibah, tapi dengan maksud merusak moral bangsa yang terkenal dengan penduduknya yang religius. Ada juga sahabat-sahabat yang mendukung kedaulatan negara sang Raja, namun dengan terang-terangan memberi suaka dan bantuan kepada organisasi Republik Malumu Selatin dan Organisasi Papuk Merdeka.
Entah sang Raja tahu atau pura-pura tidak tahu, beliau terus menerus melakukan kunjungan persahabatan untuk memperoleh lebih banyak lagi sahabat di luar sana. Tanpa terasa sang Raja telah melakukan kunjungan ke luar negeri yang banyak sekali sehingga biayanya menjadi sangat besar. Namun sejauh ini, sang Raja tidak pernah menerangkan kepada rakyat yang membiayai perjalanan itu, dengan sukarela, hasil dari kunjungan-kunjungan itu. Tetapi rakyat negeri itu tahu bahwa banyak sekali perusahaan negara sahabat yang beroperasi di negara mereka. Tetapi, mereka juga tahu bahwa mereka diperlakukan sebagai manusia kelas 2 di negaranya sendiri ketika mereka bekerja sebagai buruh di perusahaan-perusahaan milik asing, dan diperlakukan seperti budak ketika mereka bekerja di negara-negara "sahabat Raja".
Namun begitu, ketika negeri yang terdiri atas banyak pulau itu melakukan pemilihan Raja untuk yang kedua kalinya, kembali sang Raja terpilih. Kekacauan makin menjadi di mana-mana dan dalam banyak sektor. Ada bank yang pura-pura sakit, tapi dibantu oleh negara dengan bantuan triliunan rupiah dengan cara culas. Pembantu Raja yang semestinya bertanggung jawab terhadap kasus itu diselamatkan Raja dengan disuruh mengungsi ke Negara Sahabat dan menjadi pegawai tinggi di sebuah badan keuangan internasional. Sementara itu rakyat yang harus mengungsi karena semburan lumpur panas sampai bertahun-tahun tidak mendapat perhatian yang semestinya.
Negara-negara yang dianggap sahabat juga mulai menggerogoti sang Raja. Mereka menakut-nakuti raja tentang perlunya konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Tentang perlunya perdagangan bebas, tentang perlunya memelihara hutan, tentang perlunya penegakan HAM, dan anehnya, sang Raja yang kelihatan gagah dan suka marah-marah sama pembantunya itu, sama sekali tidak berdaya menghadapi tekanan raja kerajaan lain.
Perdagangan bebas diberlakukan di negara dengan panjang lebih dari 5000 km itu tanpa persiapan yang perlu, sehingga negara kaya yang seharusnya bisa menjadi penguasa dunia itu, hanya bisa jadi konsumen terhadap barang-barang dari negara lain. Untuk mereka yang kaya, bisa membeli barang-barang dari para saudagar berkulit putih, sedangkan mereka yang miskin-miskin tidak perlu hanya membeli mimpi karena mereka bisa membeli barang orang kaya dari para saudagar bermata sipit dengan harga yang sangat murah, meski imitasi. Dan tidak ada keinginan sang Raja dan para pembantunya untuk membantu rakyatnya menjadi rakyat produsen. Katanya ahli ekonomi negara itu, "pemerintah mendapat cukup banyak uang dari bea masuk barang-barang yang tidak perlu susah-susah diproduksi."
Dan Raja-pun semakin gendut, karena dia tidak perlu susah memikirkan produksi karena selalu ada raja-raja sahabat yang siap membantu memproduksi semua kebutuhan negara dan rakyatnya. Raja juga tidak perlu susah memikirkan kemacetan yang semakin parah di kotaraja karena dia tidak perlu terjebak macet. Selalu ada pengawal yang siap menghentikan pengguna jalan lain ketika raja mau lewat, yang kadang-kadang penghentian pengguna jalan lain dilakukan dengan kasar dan kekerasan. Rakyat yang tetangga Raja mulai mengeluh. Mereka ingin Raja dan keluarganya tinggal di istana. Tapi Raja justru ingin mengubah prosedur pengawalan bukan tinggal di istana seperti yang diinginkan banyak orang. Bukan pula berusaha memecahkan masalah kemacetan yang menjadi pokok pangkal persoalan.
Rakyat negara yang sopan dan selalu tersenyum itu pun semakin menderita. Krisis listrik menambah penderitaan rakyat miskin. Rakyat yang sudah miskin semakin miskin. Benda-benda elektronik yang dulu mereka beli dengan harga mahal banyak yang rusak karena listriknya sering mati. Mereka harus bayar listrik lebih mahal padahal mereka jarang pakai listrik. Rumah-rumah di komplek pemukiman rakyat miskin terbakar karena tersambar api dari lilin yang harus mereka pakai untuk menerangi rumah mereka ketika listrik padam. Dan Raja menunjuk seseorang Raja Media, sebuah keputusan yang berani, untuk menjadi ketua perusahaan listrik yang dikelola negara. Sang Ketua melakukan semua daya usaha untuk mengatasi krisis listrik. Cara yang paling cepat adalah menyewa mesin pembangkit dari negara lain karena negara dengan konsumsi listrik terbesar di kawasan itu tidak memiliki pabrik mesin pembangkit listrik. Mesin-mesin didatangkan dan perlahan-lahan krisis mulai teratasi.
Melihat kondisi itu, sang Raja yang mulai sering menyalahkan para pembantunya, berani "sesumbar" pemadaman listrik bergilir dihentikan. Pencanangannya ditetapkan di sebuah provinsi kepulauan yang terkenal karena punya seribu masjid karena sehari sebelumnya, sang Raja bersama keluarga berada di sebuah pulau seribu pura yang dekat dengan provinsi dengan seribu masjid itu. Sebelum pencanangan, sang Raja dihibur oleh tari-tarian dan kesenian lokal. Ada juga dialog tentang kondisi listrik di daerah itu. Tapi sayangnya dialog dilakukan dengan pejabat yang tidak pernah menderita akibat pemadaman listrik. Dan sang Raja-pun bertitah, "MULAI HARI INI, SAYA NYATAKAN DI SELURUH NEGERI TIDAK ADA LAGI PEMADAMAN LISTRIK BERGILIR." Semua orang tertawa, semua orang bertepuk tangan, sebagian penuh harap, tapi ada juga yang tidak percaya. Dan sore harinya, listrik mati di kawasan timur pulau itu.
Terbukti sudah sabda sang Raja tidak lagi ampuh.
Sungguh sebuah ironi yang terjadi di sebuah negara yang kaya raya, memiliki sejarah panjang dan mulia, dengan Raja-Raja yang berdaulat dan bertuah kata-katanya, dengan pahlawan-pahlawan yang mengagumkan, namun rakyatnya tidak pernah terlepas dari penjajahan yang dipimpin oleh pemimpin yang mereka pilih sendiri.
1 komentar:
ikut prihatin ya mas...budaya memang selalu berubah,hmm ntahlah!!!
Posting Komentar