Laman

Rabu, 03 Desember 2014

MENGGELANDANG DI SINI

Belum Pernah Risau Seperti Ini Sebelumnya

Menjadi seorang ayah tidak mudah di jaman seperti ini, di mana segala sesuatunya tidak menentu dan harga-harga melambung tinggi. Anak tentu saja tidak tahu apa makna kenaikan harga BBM yang "hanya Rp2.000". Mereka tahunya kenaikan harga Rp2.000/liter itu dibebankan ke orang tua. Dan orang tua harus menselaraskan kenaikan harga itu dengan uang yang dibutuhkan untuk membeli bensin supaya bisa terus ke sekolah setiap hari.

Saya tidak perlu lagi bertanya ke istri saya, apa butuh tambahan belanja atau tidak, dan dia memang tidak mengatakan apa-apa mengenai hal ini. Tapi saya tau, kalau dia ditanya, pasti jawabnya, "butuh". Saya tahu harga-harga di pasar naik segera setelah kenaikan harga BBM diumumkan. Kangkung, cabai, tempe dan tahu yang merupakan makanan sehari-hari (lebih dari anjuran hidup sederhana yang palsu itu), semua harganya naik. Barang yang tata niaganya seharusnya diatur dan diawasi pemerintahpun harganya menjadi tidak terkendali. Contohnya seperti harga gas LPG. Meskipun harga gas LPG resminya tidak ikut naik, tapi para pengecer juga ikut menaikkan harga dengan alasan ongkos angkut juga naik. Bahkan saya dengar dari teman saya, ada yang menjual gas LPG 3 kg seharga Rp23.000,-

Risau karena gaji belum bertambah, diikuti dengan kenaikan bayaran uang sekolah yang diputuskan oleh sekolah pada bulan Nopember dan harus dibayar per bulan Juli. Kenaikan bayaran sekolah ini pun "hanya Rp20.000/bulan". Tetapi kenapa bayaran sekolah tiba-tiba menyesuaikan dengan harga BBM? Bukankah pemerintah akan menerbitkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk masalah sekolah ini? Kapan?

Enam bulan lagi anak sulung saya akan tamat Sekolah Menengah dan saya masih belum punya gambaran, ke mana dia akan dikuliahkan dan bagaimana saya akan menanggulangi biaya masuk, gedung, SPP, sumbangan lain, kos-kosan, transport, uang buku, peralatan kuliah, uang bulanannya, yang semuanya tentu akan sangat mahal. Saya dengar pemerintah saat ini memusuhi pegawai negeri sehingga gaji tidak akan dinaikkan, sampai dengan penghentian gaji ke-13. Kenapa?

Mungkin ada yang menganggap saya tidak bersyukur karena sudah menjadi pegawai negeri dan tidak melihat jutaan orang di seluruh negeri mengantri menginginkan profesi yang sama. Sama sekali tidak begitu. Saya tidak ingin hidup mewah (mau hidup mewah juga, uang dari mana?)
Saya juga tidak ingin diistimewakan. Saya hanya merisaukan bagaimana nasib anak-anak saya? Apakah mereka bisa melanjutkan sekolah atau tidak? Itu saja.

Lebih risau lagi ketika saya banyak disodorkan informasi bahwa uang yang didapat oleh pemerintah dari menaikkan harga BBM sebanyak Rp100.000.0000.0000.000 (sengaja saya tulis angkanya supaya terasa banyaknya)dipakai untuk impor sapi (jumlahnya hampir setengah juta ekor), impor kapal dari china, dan mengimpor singkong dari vietnam. Bagaimana ini?

Risau.....kapankah kau pergi.