Laman

Senin, 25 Maret 2013

PESTA BARU SAJA HENDAK MULAI


PEMILU telah lama dikonotasikan dengan pesta lima tahunan negara. Semua orang diharapkan terlibat meskipun pada kenyataannya tidak semua orang mau melibatkan diri dalam kehebohan PEMILU yang diselenggarakan dengan biaya bermilyar-milyar itu.

Pada paruh awal tahun 2013, Kabupaten Lombok Timur akan menyelenggarakan pesta yang diberi judul PEMILUKADA Kabupaten yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin daerah 5 tahun ke depan. Kontestan pemilukada Lombok Timur sejatinya hanya 8 orang (4 pasang) tapi hebohnya itu sampai ke segala penjuru.  Tidak ada satu desa atau kampung pun di Lombok Timur ini yang tidak terlibat PILKADA ini. Bahkan yang paling pelosok dan tidak pernah dikunjungi pun tiba-tiba menjadi spot favorite untuk para kontestan. Tentu saja judulnya adalah menarik hati para pemilih.

Tanggal 25 Maret 2013 menjadi awal baru dalam tahapan pemilukada Kabupaten Lombok Timur. Para kontestan mengadakan pencabutan nomor peserta pemilukada. Pencabutan Nomor yang diselenggarakan di Gedung Wanita Selong berlangsung dalam suasana yang sangat meriah. Heboh dan hangat.
Sejak jam 12 siang (undanngan acaranya jam 14.00) para pendukung kontestan berdatangan memenuhi taman Rinjani Kota Selong yang berlokasi di depan Gedung Wanita Selong. Mobil-mobil truk dengan sound system yang memiliki power besar berdatangan bersama orang-orang di atasnya dengan penampilan yang lebih bersemangat (kalau tidak mau dikatakan sedikit norak) memakai baju kebesaran tim atau banner-banner yang tercetak di atas kain vinyl bercetakkan semboyan dan gambar kontestan pujaan. Suara musik berdentam-dentam dari sound system yang mengepung taman kota. Diantara musik yang hingar bingar itu, masih terdengar suara-suara para pembakar semangat berteriak melalui pengeras suara yang sudah disediakan untuk itu kemudian ditingkahi oleh massa pendukung yang mengiyakan dan mendukung pasangan masing-masing.

Mendekati jam 14.00, suasana semakin hangat dan padat. Keriuhan pecah ketika Ali bin Dahlan, salah seorang calon bupati, dengan menggunakan celana training, baju kaos, berkacamata, dan memakai topi rimba tiba-tiba muncul di antara orang banyak tanpa ditemani tim suksesnya. Untuk beberapa saat tidak ada yang mengenali pak Ali bid Dahlan karena tidak ada satu orangpun yang menyangka kemunculannya seperti itu di tengah para pendukungnya. Tiba-tiba dari tengah kerumunan ada yang mengenal beliau dan meneriakkan namanya. Semua orang berpaling dan menyerbu calon pempimpin pujaannya. Dalam sekejap, tidak ada ruang yang tersisa kecuali kerumunan masssa yang mengelu-elukan nam “AlKhaer” berulang-ulang kali. Suasanaynya heboh. Para pendukung berseri-seri mengomentari kemunculan pak Ali BD yang tidak mereka sangka-sangka. Segera kemudian para pendukung membentuk lorong panjang yang mengarahkan beliau menuju Gedung Wanita yang saat itu dikawal ketat ratusan polisi. Haerul Warisin mana? "Sudah di dalam gedung," jawab salah seorang tim suksesnya.

Segera setelah Ali BD memasuki Gedung Wanita, teriakan membahana dari arah yang berlawanan. “Sufi”, “Sufi”............massa berkerumun ke arah satu titik. Bendera-bendera bergambar calon dikibarkan. Dari dalam kerumunan massa yang padat, muncul pak Sukiman dan Syamsul Lutfi berpakaian baju koko putih. Diiring oleh ribuan pendukungnya bergerak menuju Lokasi Pengambilan Nomor. Suasana semakin panas, ketika beliau berdua memasuki areal gedung, dan para massa pendukung tertahan di luar.

Mereka berteriak-teriak menyebut nama kontestan yang didukung disahut oleh kontestan pendukung yang lain dengan cara yang tidak kalah semangat dan kerasnya. Hal ini memancing emosi pendukung kontestan saingan sehingga terjadi saling melotot  antar pendukung, adu urat leher, dan dorong-dorongan dengan para aparat yang sigap memisahkan kelompok massa satu dengan yang lainnya sehingga kontak fisik antar para pendukung dapat dihindari. Situasi terkendali setelah aparat menggiring massa pendukung ke dua arah yang berlawanan. Kontestan berikutnya tiba di lokasi.

Dengan tenang, tanpa hiruk pikuk yang berlebihan, diringi oleh para pendukung berturut-turut, paket Waly memasuki lokasi. Tidak beberapa lama, Paket Mafan menyusul dan lengkap sudah para kontestan memasuki lokasi acara. Gerbang ditutup dan para polisi berjaga-jaga dengan ketat.

Di dalam gedung, acara dimulai dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Rapat terbuka KPUD Lombok Timur dibuka. Para komisioner yang terdiri atas 5 orang komisioner duduk di atas panggung memimpin rapat, diikuti oleh para kontestan dan pendukungnya serta Bawaslu propinsi dan kabupaten.
Setelah itu pencabutan nomor urut pencabutan nomor oleh para calon wakil. Berturut-turut maju ke tempat pencabutan Haerul Warisin, Samsul Lutfi, Lale Yaqutunnafis, dan Iwan Sutrisno mengambil “lompak” (tas kecil dari anyaman bambu) yang berisi nomor-nomor 1 , 2, 3, dan 4. Nomor dikeluarkan yang menandakan nomor urut para calon bupati mengambil “lonsong” (tabung) nomor kontestan pemilukada. 

Segera para calon Bupati maju sesuai dengan nomor urut yang diambil oleh para calon wakil bupati.
Riuh rendah suasana di dalam gedung yang gerah itu ketika nomor urut konstentan dibuka oleh para wakil bupati di atas panggung bersama-sama dengan calon wakil masing-masing.
Nomor Urut 1 : paket AlKhaer
Nomor Urut 2 : paket WALY
Nomor Urut 3 : paket SUFI
Nomor Urut 4 : paket MAFAN

Para pendukung membentangkan banner yang sudah bertuliskan nomor urut paket beserta gambar para calon yang rupanya jauh-jauh hari sudah dipersiapkan. Suasana hingar bingar dilanjutkan dengan penandatanganan pemilukada damai di atas selembar papan deklarasi yang sudah disiapkan panitia. Hampir tidak ada yang memperhatikan ketika pimpinan rapat menutup rapat, karena semua orang larut dalam euforia nomor urut.

Sekarang sudah jelas nomor urut yang merupakan awal dari pesta demokrasi. Ya, hari ini pesta itu dimulai untuk 45 hari ke depan. Dan segala macam pernak-pernik pesta, yang diantaranya adalah bunyi berdentingnya sendok dan piring, baru saja dimulai. Kita semua harus menjaga etika, jangan sampai sendoknya bengkok, atau piringnya pecah.
Mari kita bentuk Lombok Timur yang Baldhatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.

Berikut Galery Photonya (10 best shots pilihan penulis):
Ali BD menuju lokasi pencabutan nomor diiringi para pendukung

Paket SUFI menuju lokasi pencabutan nomor diiringi massa pendukung

Lale Yaqutunnafis menuju lokasi pencabutan nomor diiringi massa pendukung

Lonsong Nomor dan Para calon
Sebelum pencabutan  nomor parra petugas dari Bawaslu dan Kejaksaan memeriksa Lompak dan Lonsong

Para calon wakil memperlihatkan nomor urut pencabutan
MAFAN atau WALI???
Siap mengamankan pemilukada

Yang Nomor 5 paket  apa, ya?

Kompak ni ye?

Kamis, 07 Maret 2013

Hari Perempuan Sedunia

Hari Perempuan? Emang ada? Jarang ada yang tahu, atau jarang yang mau tahu? Perempuan adalah sumber kehidupan manusia. Siapapun setelah Adam AS, pasti lahir dari perempuan. Bahkan Nabi Isa dilahirkan tanpa laki-laki. Tapi betapapun hebatnya perempuan, tetap saja kita lalai bahwa peran mereka sangat besar. Oleh karena itu ditetapkanlah di seluruh dunia tanggal 8 Maret sebagai hari Perempuan Sedunia.

Saya sering merasa miris, bahwa kita cukup puas menghargai para perempuan dengan pawai dan pidato-pidato. Mengatakan bahwa perempuan mendapat tempat yang sangat mulia di dalam strata agama maupun bangsa dan istiadat lokal. Sebagai contoh untuk menyenang-nyenangkan hati perempuan, kita berkata," Ada Ibu pertiwi, tapi tidak ada Bapak Pertiwi. Ada Ibu Kota tapi tidak ada Bapak Kota. Ada Ibu Jari, tidak ada Bapak Jari." Dalam skala lokal tokoh-tokoh masyarakat mengatakan," Araq inen menik, ndaraq amen menik (ada ibu padi, tidak ada ayah padi). Dan ketika mengucapkan itu tokoh tersebut tersenyum bangga dengan kecerdikannya memainkan kata-kata yang sanggup membuat ibu-ibu yang pagi itu belum sarapan karena jatah sarapannya dihabiskan suaminya, mengangguk-angguk dan tersipu malu mengingat tadinya mereka hendak protes tentang sarapan yang tandas itu.

Hanya sebatas itu, karena ketika saatnya makan tiba, ibu-ibu itu melupakan perutnya yang lapar, menyajikan makanan kepada bapak-bapak yang kemudian makan dengan lahap tanpa mau tahu, apakah ibu-ibu itu sudah makan atau belum. Dan ketika bapak-bapak sudah selesai dengan hajatnya, barulah ibu-ibu kemudian boleh makan.

Di rumah-rumah, ibu-ibu menyediakan makanan terbaik untuk bapak-bapak. Tidak ada seorangpun yang boleh menyentuh makanan yang disiapkan ibu untuk bapak.  Apabila jumlahnya hanya sedikit atau satu-satunya, maka ibu rela menunggu bapak selesai makan apa yang disukainya, kemudian ibu akan makan setelah bapak. Memakan apa yang disisakan bapak. Alasannya adalah karena bapak membutuhkan energi yang lebih banyak untuk bekerja. Padahal sebenarnya, ibu juga membutuhkan makanan yang bergizi seperti bapak karena tugas ibu untuk hamil, melahirkan, menyusui, memelihara anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya membutuhkan energi yang besar.

Selain itu harus ada kesadaran dan penyadaran untuk memperbaiki paradigma nilai perempuan di masyarakat, khususnya di masyarakat suku Sasak. Dalam sesenggak-sesenggak Sasak, pantun, atau semepa lokal, sering kita dengar kalimat-kalimat yang melecehkan perempuan. Bahkan baru-baru ini Pemerintah Propinsi NTB harus melarang beredarnya album lagu berbahasa Sasak yang judulnya sangat melecehkan perempuan. 
Sudah umum kita mendengar lelakak-lelakak Sasak yang menempatkan wanita sebagai objek penderita. Saya tidak enak hati untuk menulis contohnya di sini karena sangat vulgar dan leceh. Oleh karena itu sudah saatnya kita mengadakan gerakan bersama untuk mengubah kondisi ini. 

Bahwa perempuan haruslah mendapat penghormatan dan kedudukan yang layak tidak bisa kita pungkiri. Semua kita yang beragama Islam pasti tahu kalau derajat perempuan lebih tinggi 3 tingkat dibandingkan tingkat laki-laki sebagai tafsir yang sangat jelas tentang kedudukan ibu sebagai tempat berbakti seorang anak kepada kedua orang tuanya.  Namun kita tidak ingin justru melecehkan perempuan kita dengan mengajak mereka berkeliling dan menyuruh mereka berpidato tentang bagaimana perlunya memuliakan perempuan karena pada saat itu kita justru sedang merendahkan harkat dan martabat perempuan dengan menyuruh mereka berpanas-panas dan berteriak-teriak pada Hari Perempuan. Karena cara seperti itu tidak dikenal dalam norma adat dan agama kita.

Gagasan tentang perayaan hari perempuan dengan cara seperti itu pertama kali dikemukakan pada saat memasuki Abad_ke-20, di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada tanggal 8 Maret di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini membentuk serikat buruh pada bulan yang sama dua tahun kemudian.

Di Barat, Hari Perempuan Internasional dirayakan pada tahun sekitar tahun 1910-an dan 1920-an, tetapi kemudian menghilang. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional. (sumber: Wikipedia).

Kita tentu saja tidak ingin perempuan yang kita muliakan ini meminta dihormati dan dimuliakan oleh orang lain. Seharusnya para lelaki lah yang melakukan itu. Berkampanye untuk mulianya perempuan-perempuan yang kita cintai. Marilah kita mulai melihat ke dalam diri kita, bahwa sebenarnya kita menempatkan perempuan kita di mana. Kalau kita sudah menempatkan perempuan kita pada tempat yang tinggi sesuai dengan maqam dan marwahnya, saya yakin tidak akan ada lagi perempuan berdemonstrasi untuk minta dimuliakan.


Rabu, 06 Maret 2013

Melayani yang Terlupakan

Dalam sebuah perjalanan kembali dari kunjungan kedinasan saya ke sebuah sekolah menengah kejuruan di desa Kesik, saya mampir di SLB Negeri Masbagik. Kunjungan saya bukan kunjungan dinas, tapi kunjungan persahabatan karena saya ingat kepala sekolahnya adalah teman lama dulu pada saat sama-sama menjadi pengurus PGRI. Tapi sayang, beliau tidak ada.

Melongok lewat jendela salah satu ruang kelas, saya melihat ada 5 siswa-siswi yang sebagian besar menyandang tuna grahita sedang diajar membaca. Murid-murid tersebut mengelilingi gurunya dan sang guru menunjukkan sebuah kartu huruf kemudian membunyikan huruf yang tercetak di situ. Pengucapannya harus sangat jelas dan pelan. Guru meminta siswanya untuk melihat huruf yang tercetak di kartu dan meniru bunyi yang dicontohkan guru. Satu persatu dan untuk kelima-limanya. Gampang? Yang pasti, tidak. Karena siswa-siswi tersebut kadang-kadang tidak bisa melakukan apa yang diminta guru pada saat pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Dan sang guru harus terus mencoba mencoba dan mencoba sampai si murid mampu mengikuti ucapan guru. Dan itu masih ditambah lagi dengan perhatian murid yang tidak selalu kepada guru. Ada yang menggoda temannya, melakukan hal lain, atau mogok mengikuti guru, dan hal-hal lain yang bisa bikin stress.



Bu Guru Romayanti sedang memperkenalkan buntyi huruf ke siswanya
Saya bertanya kepada guru yang sedang mengajar itu, berapa lama mereka bisa membaca. Jawabnya, variatif. Ada yang bisa setelah 6 bulan (membaca dengan cara mengeja), ada juga yang sudah sekolah selama 9 bulan tapi belum juga bisa membaca karena lupa terus.

Jumlah siswa di sekolah tersebut tercatat 53 orang, dan dibagi menjadi 7 rombongan belajar. Guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut sebgaian besarnya perempuan, mungkin karena kalau guru laki-laki tidak akan sanggup bersabar menghadapi tingkah laku murid yang di luar normal, ya? Hanya ada 2 guru  yang berstatus negeri, dari 7 guru yang ada.
Tugas guru di SLB itu tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi teman bersosialisasi siswa yang sering tidak mendapat tempat dalam strata sosial masyarakat, bahkan sampai memandikan siswa bila diperlukan, karena di rumah tidak ada yang memandikan seperti Marwan.

Marwan adalah salah seorang siswa yang mungkin hanya akan jadi beban orang-orang di sekitarnya kelak. Seperti kebanyakan siswa yang bersekolah di SLB Negeri Masbagik, Marwan berasal dari keluarga miskin, di Desa Pringga Jurang Utara. Ayahnya sudah meninggal, dan ibunya, Huriyah, juga penyandang tuna grahita stadium menengah (Sasak: Jegol). Usia Marwan saat ini diperkirakan 15 tahun, tapi penampilannya seperti anak usia 10 tahun.

Ketika saya di sana, Marwan duduk di berugak yang ada di halaman belakang sekolah. Sendiri.
Tingkah lakunya layaknya penyandang tuna grahita berat lainnya. Tersenyum, tertawa, atau melakukan gerakan menunjuk, melempar, atau memukul. Saat didaftarkan masuk sekolah pada tahun ajaran yang baru lalu, Marwan tidak mau melihat dan dekat dengan orang lain. Ketika ada orang yang mendekat, dia akan menghindar. Apabila dia tidak memiliki jalan untuk menghindar, maka dia akan menyerang orang tersebut dengan pukulan dan tendangan sebisanya.


Sembilan bulan "bersekolah" Marwan perlahan menunjukkan kemajuan. Dia sudah bisa menerima orang lain di dekatnya, tetapi masih malu apabila orang tersebut tidak dikenalnya. Marwan juga sekarang bisa diminta untuk bersalaman, dan mendorong kursi roda. Di luar itu, komunikasinya masih kacau.
Marwan di tempat favourite-nya bersama Bapak Amin (penjaga sekolah)

Marwan tidak sendiri di sekolah itu. Dia bersama adiknya Erna. Tapi kondisi Erna masih lebih baik dalam hal komunikasi. Pada saat kunjungan saya itu Erna sedang menyapu lantai ruang kelasnya. Dia juga mengerti ketika gurunya memintanya untuk mengambil buku tertentu di rak buku. Saya bertanya dalam batin,"apa yang akan terjadi pada kedua anak ini nanti kalau ibunya sudah meniggal?" Saat ini mereka masih memiliki ibu yang mencarikan mereka makan sehari-hari dengan cara menjadi buruh tani. Tapi nanti, setelah satu-satunya orang yang bisa mereka sebut orang tua itu tiada, siapa yang akan memenuhi kebutuhan dasar mereka?

Pertanyaan dan kondisi yang sama juga untuk murid-murid yang lain. Mereka rata-rata datang dari keluarga miskin di Kecamatan Masbagik, Montong Gading dan Sikur.  Menurut data yang ada jumlah mereka penyandang tuna yang belum terlayani di ketiga kecamatan tersebut di atas angka 100 orang. Siapa yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan mereka nanti? Idealnya, negara memelihara orang-orang terlantar seperti Marwan dan saudarinya. Tapi bisakah negara yang hingar bingar dengan urusan lain ini diandalkan untuk itu, sedangkan kita yang katanya masih waras saja, hampir gila dengan teka-teki kekuasaan.

Saat saya tanya besar bayaran sekolah, saya memperoleh jawaban bahwa biaya sekolah digratiskan, bahkan pakaian seragam juga ditanggung pemerintah. Hanya biaya transport dari dan ke sekolah yang tidak ditanggung dan ini memberatkan orang tua/wali siswa yang rata-rata adalah keluarga miskin. Pihak sekolah sangat mengharapkan ada asrama di sekolah tersebut untuk siswanya karena banyak dari mereka tidak bisa masuk sekolah dengan alasan tidak ada uang untuk bayar ojek. Beruntung bagi siswa yang berasal dari kecamatan Montong Gading karena saat ini pemerintah kecamatan setempat menyediakan transport bagi para murid SLB ini melalui proyek PNPM Mandiri.

Guru-gurunya juga harus mendapat perhatian yang serius. Tidak banyak orang yang sanggup bertahan menjadi guru di SLB dengan kondisi seperti itu. Mengajar sekaligus membesarkan anak yang bukan anaknya. Mereka adalah pelayan bagi mereka yang selama ini terlupakan pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Dua siswa narsis di selasar sekolah ketika mau dipotret

Sebelum pergi saya hanya bisa mengatakan, "Sabar-sabarlah Ibu membimbing anak-anak ini." Dan saya tidak mampu berkata-kata lagi. Saya meninggalkan sekolah tersebut dengan berat hati, karena pikiran saya masih bersama mereka.


Minggu, 03 Maret 2013

Festival Kaliantan

Untuk pertama kalinya pelaksanaan bau nyale dijpariwisata (bandingkan dengan Lombok Tengah yang memulai festival Bau Nyale di pantai Seger, Kuta, sekitar tahun 90an) di Kabupaten Lombok Timur. Dipusatkan di Pantai Kaliantan, Kecamatan Jerowaru. Pesta Rakyat tersebut diberi judul Festival Kaliantan.

Saya melihat antusiasme masyarakat menyambut pesta adat bau nyale ini sangat luar biasa. Mulai Sabtu pagi puluhan ribu manusia dari seluruh penjuru pulau Lombok mengalir menuju satu arah, Pantai Kaliantan. Festival Kaliantan yang dibuka oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat dan dihadiri oleh dua Menteri telah sanggup menyedot perhatian masyarakat untuk hadir di acara rakyat tersebut. Menjelang sore, kendaraan yang menuju dan dari Kaliantan mvulai tersendat-sendat karena jalanan hotmix yang sempit itu mulai dijejali begitu banyak kendaraan roda dua dan roda empat yang semuanya tidak sabar untuk bisa mencapai tempat acara.Jammed, macet. Saking macetnya, jarak yang biasa ditempuh dalam waktu 30 menit tersebut harus ditempuh dalam waktu 4 jam (dengan memakai mobil).

Sekitar jam 5, Acara pembukaan Festival Kaliantan dimulai. Diawali dengan laporan Ketua Panitia, sambutan Bupati Lombok Timur, Wamen Kemendikbud bidang Kebudayaan, dan akhirnya acara dibuka oleh Gunernur NTB dengan pidato yang sangat singkat (untuk ukuran pejabat), mengingat waktu yang sudah semakin sore.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan perisaian "saling gebuk" antara Bupati Lombok Lombok Timur dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat. Setelah itu, 5 pasang pepadu "peleq mate" dari Lombok Tengah dan Lombok Timur mengadu ketangkasannya berperang dengan bersenjatakan penjalin dan bertamengkan ende. Perisaian ini menyedot perhatian yang luar biasa dari penggemar olah raga perisaian. Hadiah pepadu diberikan menurut "saweran" yang tersedia. Dalam setiap partai, ada penonton yang bersedia merogoh uang dan menempatkannya di tengah arena, dan itu dijadikan hadian bagi para pepadu yang bertarung dalam partai itu. Dalam hal ini, saya agak kurang sreg dengan cara itu. Kesan saya kurang koordinasi dan tidak professional dan sopan karena terlihat seolah-olah panitia memaksa tamu undangan untuk mengeluarkan uang membiayai perisaian tersebut.

Setelah 5 partai berakhir, Gubernur NTB, Bpk H. Zainul Majdi meninggalkan acara bersama dengan tamu undangan lainnya. Perisaian dilanjutkan, tapi panitia mengumumkan bahwa pawai adat tidak dapat diselenggarakan akibat keterbatasan waktu, sehingga peserta pawai yang sebagian besar anak-anak sekolah merasa kecewa dengan pembatalan tersebut.

Saat itu memang sudah sangat-sangat sore. Waktu shalat Maghrib sudah tiba. Saya mencari tempat wudhu, dan kebetulan sekali pemda menyediakan mobil tangki air untuk para pengunjung berwudhu. Setelah shalat Maghrib berjamaah yang diimami oleh Bapak Bupati Lombok Timur, saya bergabung dengan teman-teman dari Lombok Photowork Art. Dan saatnya makan malam.

Kami mencari tempat makan malam. Setelah meliauk-liuk diantara puluhan ribu pengunjung dan stand orang berjualan, kami dapatkan stand warung yang tidak jauh dari pantai. Makan malam terasa nikmat sekali. Mungkin karena lapar dan lelah macet tadi sore. Iseng-iseng saya bertanya ke ibu pemilik warung, dia menjawab bahwa panitia mengambil sewa stand untuk warung makan tersebut sebesar 250 ribu rupiah. Saya jadi berhitung berapa besar uang yang diperoleh panitia dari karcis masuk dan stand jualan? Saya iseng-iseng menghitung stand tempat orang berjualan dari tempat saya makan sampai ke kaki bukit tempat kami bermalam, tidak kurang dari 120 buah. Kalau dihitung semuanya, berapa ya? Lapangan Tambak Bole tempat acara dilangsungkan memiliki luas sekitar 5 hektar dan semuanya dipenuhi orang jualan dan pengunjung.

Dari atas bukit, pemandangannya menjadi terlihat spektakuler dengan lampu-lampu yang bersinar terang dan iring-iringan kendaraan yang mjengular tidak putus-putusnya. Di atas bukit kami temukan sudah ramai dengan pengunjung yang mendirikan tenda. Di atas sana juga ada mobil-mobil Katana yang terparkir rapi menghadap ke lapangan acara. Agak lebih ke atas, ada tenda POLISI.

Saya tidur agak cepat malam itu, mengingat kami harus bangun jam 3 pagi supaya mendapatkan moment yang bagus untuk dipotret. Menjelang jam 3 pagi saya keluar tenda dan berkeliling mencari objek foto. Orang-orang yang duduk di pinggir tebing, melihat lampu di tengah laut, atau di lapangan, ada juga yang duduk melingkar mengelilingi api unggun, tapi sebagian besar mulai berkemas turun untuk menangkap nyale.

Setelah shalat Subuh, suasananya menjadi hingar bingar dengan suara orang menuju pantai di bawah sana. Sesekali ada teriakan "jabuuuuttt" yang juga saya agak sesalkan, karena ada pengunjung yang menyahit dengan teriakan-teriakan mesum. Mengeluh dalam hati, "apakah orang Sasak harus selamanya begini?"

Sekitar jam 7, ombak mulai meninggi, dan para pemburu nyale menepi. Tenda-tenda dibongkar dan kembali kami terjebak kemacetan selama 2 jam menuju pulang. See you next year.

Berikut adalah galery photonya.
Pra acara

Sambutan Bupati Lombok Timur
Acara dibuka Bapak Gubernur NTB

Penyerahan Bantuan Untuk Kelompok Seni dan Budaya Lokal

Do'a di akhir acara pembukaan


Peserta Pawai

Perisaian

Menonton Perisaian
Menonton Perisaian

Motor Emboung menjelang senja

Pusat acara dari atas bukit

Bau Nyale dimulai


Bau nyale


Bau Nyale

Menonton para hunters menuju pulang