Laman

Rabu, 06 Maret 2013

Melayani yang Terlupakan

Dalam sebuah perjalanan kembali dari kunjungan kedinasan saya ke sebuah sekolah menengah kejuruan di desa Kesik, saya mampir di SLB Negeri Masbagik. Kunjungan saya bukan kunjungan dinas, tapi kunjungan persahabatan karena saya ingat kepala sekolahnya adalah teman lama dulu pada saat sama-sama menjadi pengurus PGRI. Tapi sayang, beliau tidak ada.

Melongok lewat jendela salah satu ruang kelas, saya melihat ada 5 siswa-siswi yang sebagian besar menyandang tuna grahita sedang diajar membaca. Murid-murid tersebut mengelilingi gurunya dan sang guru menunjukkan sebuah kartu huruf kemudian membunyikan huruf yang tercetak di situ. Pengucapannya harus sangat jelas dan pelan. Guru meminta siswanya untuk melihat huruf yang tercetak di kartu dan meniru bunyi yang dicontohkan guru. Satu persatu dan untuk kelima-limanya. Gampang? Yang pasti, tidak. Karena siswa-siswi tersebut kadang-kadang tidak bisa melakukan apa yang diminta guru pada saat pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Dan sang guru harus terus mencoba mencoba dan mencoba sampai si murid mampu mengikuti ucapan guru. Dan itu masih ditambah lagi dengan perhatian murid yang tidak selalu kepada guru. Ada yang menggoda temannya, melakukan hal lain, atau mogok mengikuti guru, dan hal-hal lain yang bisa bikin stress.



Bu Guru Romayanti sedang memperkenalkan buntyi huruf ke siswanya
Saya bertanya kepada guru yang sedang mengajar itu, berapa lama mereka bisa membaca. Jawabnya, variatif. Ada yang bisa setelah 6 bulan (membaca dengan cara mengeja), ada juga yang sudah sekolah selama 9 bulan tapi belum juga bisa membaca karena lupa terus.

Jumlah siswa di sekolah tersebut tercatat 53 orang, dan dibagi menjadi 7 rombongan belajar. Guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut sebgaian besarnya perempuan, mungkin karena kalau guru laki-laki tidak akan sanggup bersabar menghadapi tingkah laku murid yang di luar normal, ya? Hanya ada 2 guru  yang berstatus negeri, dari 7 guru yang ada.
Tugas guru di SLB itu tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi teman bersosialisasi siswa yang sering tidak mendapat tempat dalam strata sosial masyarakat, bahkan sampai memandikan siswa bila diperlukan, karena di rumah tidak ada yang memandikan seperti Marwan.

Marwan adalah salah seorang siswa yang mungkin hanya akan jadi beban orang-orang di sekitarnya kelak. Seperti kebanyakan siswa yang bersekolah di SLB Negeri Masbagik, Marwan berasal dari keluarga miskin, di Desa Pringga Jurang Utara. Ayahnya sudah meninggal, dan ibunya, Huriyah, juga penyandang tuna grahita stadium menengah (Sasak: Jegol). Usia Marwan saat ini diperkirakan 15 tahun, tapi penampilannya seperti anak usia 10 tahun.

Ketika saya di sana, Marwan duduk di berugak yang ada di halaman belakang sekolah. Sendiri.
Tingkah lakunya layaknya penyandang tuna grahita berat lainnya. Tersenyum, tertawa, atau melakukan gerakan menunjuk, melempar, atau memukul. Saat didaftarkan masuk sekolah pada tahun ajaran yang baru lalu, Marwan tidak mau melihat dan dekat dengan orang lain. Ketika ada orang yang mendekat, dia akan menghindar. Apabila dia tidak memiliki jalan untuk menghindar, maka dia akan menyerang orang tersebut dengan pukulan dan tendangan sebisanya.


Sembilan bulan "bersekolah" Marwan perlahan menunjukkan kemajuan. Dia sudah bisa menerima orang lain di dekatnya, tetapi masih malu apabila orang tersebut tidak dikenalnya. Marwan juga sekarang bisa diminta untuk bersalaman, dan mendorong kursi roda. Di luar itu, komunikasinya masih kacau.
Marwan di tempat favourite-nya bersama Bapak Amin (penjaga sekolah)

Marwan tidak sendiri di sekolah itu. Dia bersama adiknya Erna. Tapi kondisi Erna masih lebih baik dalam hal komunikasi. Pada saat kunjungan saya itu Erna sedang menyapu lantai ruang kelasnya. Dia juga mengerti ketika gurunya memintanya untuk mengambil buku tertentu di rak buku. Saya bertanya dalam batin,"apa yang akan terjadi pada kedua anak ini nanti kalau ibunya sudah meniggal?" Saat ini mereka masih memiliki ibu yang mencarikan mereka makan sehari-hari dengan cara menjadi buruh tani. Tapi nanti, setelah satu-satunya orang yang bisa mereka sebut orang tua itu tiada, siapa yang akan memenuhi kebutuhan dasar mereka?

Pertanyaan dan kondisi yang sama juga untuk murid-murid yang lain. Mereka rata-rata datang dari keluarga miskin di Kecamatan Masbagik, Montong Gading dan Sikur.  Menurut data yang ada jumlah mereka penyandang tuna yang belum terlayani di ketiga kecamatan tersebut di atas angka 100 orang. Siapa yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan mereka nanti? Idealnya, negara memelihara orang-orang terlantar seperti Marwan dan saudarinya. Tapi bisakah negara yang hingar bingar dengan urusan lain ini diandalkan untuk itu, sedangkan kita yang katanya masih waras saja, hampir gila dengan teka-teki kekuasaan.

Saat saya tanya besar bayaran sekolah, saya memperoleh jawaban bahwa biaya sekolah digratiskan, bahkan pakaian seragam juga ditanggung pemerintah. Hanya biaya transport dari dan ke sekolah yang tidak ditanggung dan ini memberatkan orang tua/wali siswa yang rata-rata adalah keluarga miskin. Pihak sekolah sangat mengharapkan ada asrama di sekolah tersebut untuk siswanya karena banyak dari mereka tidak bisa masuk sekolah dengan alasan tidak ada uang untuk bayar ojek. Beruntung bagi siswa yang berasal dari kecamatan Montong Gading karena saat ini pemerintah kecamatan setempat menyediakan transport bagi para murid SLB ini melalui proyek PNPM Mandiri.

Guru-gurunya juga harus mendapat perhatian yang serius. Tidak banyak orang yang sanggup bertahan menjadi guru di SLB dengan kondisi seperti itu. Mengajar sekaligus membesarkan anak yang bukan anaknya. Mereka adalah pelayan bagi mereka yang selama ini terlupakan pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Dua siswa narsis di selasar sekolah ketika mau dipotret

Sebelum pergi saya hanya bisa mengatakan, "Sabar-sabarlah Ibu membimbing anak-anak ini." Dan saya tidak mampu berkata-kata lagi. Saya meninggalkan sekolah tersebut dengan berat hati, karena pikiran saya masih bersama mereka.


Tidak ada komentar: