Laman

Jumat, 13 Maret 2009

Ujian Nasional


Ujian Nasional sebentar lagi akan dilaksanakan untuk siswa SMA/MA/SMK, dilanjutkan dengan SMP/MTs, dan baru kemudian SD/Ibtidaiyah. Meskipun Ujian Nasional adalah acara rutin, yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1984 (ketika masih bernama EBTANAS), namun selalu saja Ujian Nasional menjadi uji psikologis (baca: mimpi buruk) bagi semua komponen yang terlibat. Sekolah, Siswa, dan orang tua.

Perdebatan tentang keabsahan Ujian Nasional yang menentukan keberhasilan belajar siswa selama 3 tahun, dan keabsahan pengujian yang agak aneh (mengingat fungsi guru, merencanakan, menyajikan, mengevaluasi) karena siapa yang mengajar siapa yang menguji, berlangsung sengit di setiap tingkatan dengan justificasi dan endorsement yang semuanya terdengar masuk akal, namun Ujian Nasional tetap saja dilaksanakan dengan segala caci maki dan acungan jempolnya (dari para pencaci dan pendukung yang sama-sama tidak sedikit jumlahnya).

Menghadapi Ujian Nasional, bisa menyebabkan orang menjadi tidak rasional. Jangankan siswa, yang memang diuji. Bahkan tokoh masyarakat seperti Bupati yang tidak ikut ujian saja ada yang menjadi tidak rasional dengan target-target persentase kelulusan yang benar-benar tidak masuk akal. Salah satu contohnya adalah angka target kelulusan untuk sekolah-sekolah di Kabupaten Lombok Timur > 90% (mungkin ini akan menjadi contoh real dari kesuksesan pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan sehingga bisa jadi bahan kampanye untuk periode berikutnya). Mengingat ini tahun pertama (belum genap setahun Bapak Sukiman Azmi menjadi Bupati) tentu saja target ini terlalu tinggi, karena belum ada satu pun hal yang dilakukan beliau untuk kemajuan pendidikan, kecuali rencana-rencana yang masih ada di kepala atau masih berupa konsep (meningkatkan anggaran pendidikan dari APBD, memperbaiki fasilitas sekolah, melengkapi laboratorium dan perpustakaan sekolah, merintis SBI, merintis Boarding School, memutasi kepala sekolah dan guru-guru) yang belum semuanya terealisasi. Jadi bagi saya, tentu saja aneh meminta hasil baik hanya karena sudah ada konsep pembangunan yang akan dilakukan. Sekali lagi, semua rencana itu, akan dilakukan. Akan dilakukan tapi hasilnya sudah harus ada???? o la la).

Target ini tentu saja ada sisi positifnya, mencemeti semua pihak supaya benar-benar kerja keras mengejar target tersebut. Bagi sekolah yang memiliki dana cukup, tentu saja kerja keras ini tidak terlalu bermasalah, karena (1) sekolah kaya, artinya intake siswa di atas rata-rata, (2) sekolah kaya, artinya fasilitas memadai, (3) sekolah kaya, artinya mampu membayar guru untuk melakukan pengayaan yang artinya income tambahan bagi pengelola. Tapi bagi sekolah yang "miskin", target 90% menyebabkan para guru harus kena cemeti dalam pengartian secara harfiah. Mereka harus bersedia kerja rodi (ada yang masih ingat film kerja rodi gak seh? pekerjanya itu harus dicemeti, lho).


Selain kerja rodi, ada juga cara-cara dan wejangan-wejangan yang kadang tidak masuk akal, aneh dan bisa mengundang keprihatinan kalau bukan tertawaan. Seperti berikut ini:
1. Bagi siswa yang tidak bisa belajar dengan baik, tidak cepat mengerti, lebih baik kalian memperbanyak do'a, karena do'a bisa merubah takdir seseorang. (Sepintas lalu, tidak ada yang salah dengan nasihat itu. Tapi tujuan akhir belajar adalah untuk meningkatkan intelektual seseorang. Bukan untuk lulus)
2. Sebelum memulai kegiatan pengayaan, orang tua (terutama ibu) siswa harus datang ke sekolah untuk berdo'a bersama, mendo'akan anaknya supaya lulus ujian. (Lagi-lagi seperti alasan untuk kegiatan nomor 1 yang tujuannya adalah lulus. Selain itu, do'a bersama seperti itu juga tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah).
3. Mempersiapkan nomor HP, atau "strategi" menyontek lainnya yang harus terlihat seperti "bermain cantik?".
4. Pergi ke makam wali, tuan guru, makam-makam keramat lainnya untuk minta doa (besangi; bhs Sasak), yang menjurus kepada syirik.
5. Dan anehnya, tidak hanya guru dan murid, serta orang tua siswa yang tidak logis. Untuk mengantisipasi kebocoran dan pelanggaran dalam penyelenggaraan UN, pemerintah harus meminta bantuan DENSUS Anti Teror 88 untuk mengawasi dan menangkapi para guru, kalau perlu. Artinya, para guru dianggap tidak kurang berbahanya dari teroris internasional.

Akhirnya renungan kita seharusnya adalah, bagaimana membangun semua sekolah dengan standard mutu nasional untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kebutuhan nasional adalah, manusia yang terampil, berpengetahuan, tidak berfikir individual, tahan banting, tanggap situasi dan kondisi, siap bekerja untuk kemajuan bangsa dengan bayaran yang memadai, dan bertaqwa kepada Tuhan (yang ditunjukkan dengan cara tidak korupsi).

Tidak ada komentar: