Laman

Jumat, 27 Agustus 2010

Diplomasi Mantan Presiden dan Mengembalikan Martabat Bangsa


Kemarin saya membaca berita tentang pembebasan tahanan, Aijalon Mahli Gomes (30) seorang guru Bahasa Inggris keturunan Afrika-Amerika, oleh Pemerintah Korea Utara atas permintaan dari mantan Presiden Jimmy Carter. Dikatakan oleh kedua pihak (Amerika dan Korut) bahwa pembebasan Gomes dilakukan murni atas inisiatif mantan Presiden Carter dan tanpa syarat.

Sebenarnya berita itu biasa-biasa saja, karena saya tahu banyak lagi mantan-mantan pemimpin dunia yang melakukan kegiatan kemanusiaan setelah mereka lengser dari jabatannya. Tapi berita tersebut menjadi luar biasa dalam kondisi negara kita yang semrawut. Jangankan melakukan kegiatan sosial tingkat internasional, mantan-mantan pemimpin kita kebanyakan menghabiskan waktunya di penjara karena tuduhan korupsi atau kejahatan lain. Atau, kalau tidak masuk penjara, mantan pemimpin lebih sibuk meng-kritik pemerintah yang sedang berkuasa, dan mempersiapkan amunisi untuk bisa berkuasa lagi. Jadi...? Mana sempat melakukan kegiatan seperti Mr. Carter?

Di samping itu, diplomasi luar negeri negara kita yang sangat-sangat lemah. Saya teringat posisi diplomasi negara kita belakangan ini yang semakin terlecehkan. Saya jadi bertanya-tanya, apakah wajar sebuah negara besar dan kaya seperti Indonesia diperlakukan bagai tidak punya harga? Apakah seimbang pengeluaran rakyat miskin terhadap biaya para diplomat kita? Dengan Singapura saja, kita selalu kalah diplomasi. Berapa banyak koruptor atau pelaku kejahatan negara kita yang menikmati surga perlindungan negara kecil, Singapura? (yang tidak lebih besar dari pulau Lombok).

Malaysia, juga tidak banyak beda. Puas "memperkosa" hak-hak TKI dan TKW kita, mereka juga mulai berani mengambil pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan negara mereka. Sipadan, Ligitan, dan hampir saja Ambalat!!!! No more island for Malaysia. Tidak berhasil mengambil Ambalat, Malaysia menangkapi nelayan-nelayan kita yang mencari ikan di perairan Indonesia!!!!??? Dan untuk membebaskan nelayan-nelayan tersebut, mereka (Polisi Diraja Malaysia) minta tebusan tidak kurang dari RM 1 juta dan pemerintah tidak melakukan hal-hal yang perlu. Bandingkan dengan apa yang terjadi ketika 6 orang nelayan Malaysia ditangkap karena mencuri ikan di perairan Indonesia. Polisi Laut Malaysia menangkap 3 orang petugas kita di rumah kita sendiri. Sekali lagi, ditangkap di rumah kita sendiri. Dan apa yang dilakukan pemerintah Indonesia? Menukar keenam pencuri tersebut dengan ketiga petugas legal kita, meski istilah pertukaran itu ditolah pemerintah. Tapi public tahu apa yang terjadi. Menyedihkan dan juga memalukan sekali. Lantas apa saja yang sudah diplomat-diplomat kita? Pelesir di negeri orang dengan biaya dari rakyat mereka yang miskin? Dan Presiden kita sering sekali melakukan kunjungan ke luar negeri yang menghabiskan banyak biaya. Apakah bisa disebut "kunjungan yang berhasil" jika posisi politik internasional kita makin terpuruk?

Lantas, apakah kita harus marah-marah kepada Malaysia yang terhitung masih saudara serumpun? Menurut the Guru, tidak elok kita menyulut permusuhan dengan negara-negara tetangga ASEAN kita. Terlalu banyak yang harus dikorbankan. Aspek-aspek ekonomi, budaya, ketenaga kerjaan, pertahanan akan terganggu . Di samping itu keutuhan hubungan regional, adalah harga mati bagi pertahanan idelogi kita yang sedang dalam incaran negara liberal (Amerika) dan serbuan komunis (China).

Kita bisa mulai menjadi bangsa yang bermartabat tanpa harus berperang dengan negeri tetangga (seperti yang diinginkan oleh banyak orang Indonesia). Kalau mau berwibawa terhadap Malaysia, seharusnya kita juga mulai tegas terhadap Singapura, yang dalam istilah orang awam, jika seluruh penduduk Indonesia kencing bersama-sama di sana, negara pulau itu pasti akan tenggelam. Kemudian kita juga harus tegas terhadap East Timor yang telah berani menembak rakyat Indonesia yang memancing di sungai yang menjadi batas kedua negara. Terhadap New Guinea yang sering menjadi tempat persembunyian OPM, dan Australia (yang sudah dua dasawarsa ini mengangkat diri jadi deputy polisi kawasan) serta sering menembaki dan menghancurkan kapal nelayan tradisional kita. Juga pemerintah harus berani menggunakan segala potensi alam dan manusianya untuk menekan negara-negara lain dalam men-sukses-kan diplomasinya. Kita bisa mengancam untuk mengambil alih Freeport, Natuna, Exon Mobile, Blok Cepu, NNT, dan lain-lain supaya kedaulatan dan martabat bangsa kita terjaga. Dan itu baru bisa dilakukan apabila negara memiliki kebijakan yang jelas tentang pendidikan anak-anak bangsa yang akan mengelola Sumber Daya Alam kita yang melimpah ruah. Selain itu, pemerintah juga harus bebas korupsi, karena tidak mungkin melakukan nasionalisasi perusahaan asing-perusahaan asing tersebut apabila ternyata di dalamnya melibatkan personal interest dari pemimpin-pemimpin kita.

Mari membangun wibawa dan martabat bangsa ini dari dalam. Mulai dari top leader sampai seluruh aspek. Saya yakin kita bisa menjadi bangsa yang mandiri, hanya jika kita mau mengelola negara ini dengan amanah. Di setiap ada kemauan di situ ada jalan. Innallahalaa yughayyiruma bikaumin, hatta yughayyiruuma bianfusihim. Dan jangan lupa berharap (berdo'a).

Tidak ada komentar: