Laman

Rabu, 26 November 2008

Cinta Adalah Sebuah Kekeliruan Logika (3)

Sebuah Essay dari Max Shulman, dengan judul Love is a Fallacy, tentang kekeliruan dalam berbahasa. Patut dibaca bagi mereka yang ingin menjadi pengacara, hakim, guru, konsultan, dsb.
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Selong
Essay ini bisa dibaca dengan judul Love is a Fallacy di http://gururidho.multiply.com

“Polly,” kataku ketika kami duduk di bawah pohon ek itu pada malam berikutnya, “malam ini kita tidak akan berdiskusi mengenai kekeliruan lagi.”
“Ohh, astaga,” katanya dengan kecewa.
“My dear,” kataku, mengasihinya dengan senyum, “kita sekarang telah menghabiskan lima malam bersama-sama. Kita telah melewatinya dengan baik sekali. Telah jelas bahwa kita cocok satu sama lain.”
“Hasty Generalization,” kata Polly dengan cemerlang.
“Maaf,” kataku.
“Hasty Generalization,” ulangnya. “Bagaimana kamu bisa mengatakan kita cocok satu sama lain hanya berdasarkan pada lima kali kencan?”
Aku terkekeh merasa lucu. Dia telah belajar dengan sangat baik.
“Sayang,” kataku sambil menyentuh tangannya ringan saja, “lima kali kencan itu banyak. Dan juga, kamu tidak harus makan semua kuenya untuk tahu bahwa kue itu bagus.”
“False Analogy,” katanya tanpa pikir-pikir. “Aku bukan kue. Aku ini cewek.”
Aku menggamitnya dengan rasa senang yang mulai berkurang. Menurutku, rupanya dia telah belajar terlalu baik. Aku memutuskan untuk mengubah taktik. Jelas bahwa pendekatan terbaik adalah yang simpel, kuat, dan pernyataan cinta yang langsung. Aku diam sebentar dan otakku yang perkasa memilih kata-kata yang tepat. Kemudian aku mulai.
“Polly, aku mencintaimu. Kamu adalah seluruh dunia bagiku, dan bulan dan bintang dan seluruh planet di angkasa raya. Kumohon sayangku, katakan bahwa kamu mau menjadi pacarku, karena kalau kamu tidak mau, hidup ini tiada artinya lagi. Aku akan merana. Aku tidak akan bisa makan. Aku akan menjelajah bumi ini, dengan tubuh tanpa jiwa.”
Kemudian aku diam, melipat tanganku dan menunggu.
“Ad Misericordiam,” kata Polly.
Aku menggertakkan gigiku. Aku bukan Pygmalion. Aku adalah Frankenstein, dan monsterku telah mencekik leherku. Dengan bingung aku melawan gelombang panik yang melandaku. Tapi bagaimanapun juga aku harus tetap tenang.
“Baiklah Polly,” kataku, memaksakan untuk tersenyum, “tampaknya kamu telah belajar tentang kekeliruan logika.”
“Kamu benar,” katanya dengan anggukan yang bersemangat.
“Dan siapa yang mengajarimu itu semua, Polly?”
“Kamu.”
“Benar. Oleh karena itu kamu berhutang padaku sesuatu, bukan begitu, my dear? Seandainya aku tidak mengajarimu, kamu tidak akan pernah belajar tentang kesalahan logika.”
“Hypothesis Contrary to Fact,” katanya dengan cepat.
Aku menyeka keringat dari dahiku. “Polly,” kataku dengan suara parau, “kamu tidak boleh melihat semua ini secara harafiah. Maksudku itu semua adalah materi di ruang kelas. Kamu tahu bahwa apa-apa yang kamu pelajari di sekolah tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kehidupan.”
”Dicto Simpliciter,” katanya sambil menggoyang-goyangkan jarinya dengan jenaka.
Itu sudah cukup. Aku melompat berdiri dan melenguh seperti seekor sapi jantan. “Mau atau tidak, kamu menjadi pacarku?”
“Tidak mau,” jawabnya.
“Kenapa,” desakku.
“Karena tadi sore aku sudah berjanji sama Petey Burch bahwa aku akan berpacaran dengannya.
*****
Aku tersurut mundur, dikuasai oleh jawaban yang tidak kusangka-sangka. Setelah dia berjanji, setelah dia membuat persetujuan, setelah dia menjabat tanganku! “The rat! aku menjerit, menendang gundukan tanah yang cukup besar. “Kamu tidak bisa pacaran dengannya, Polly. Dia pembohong. Dia penipu. Dia tikus besar.”
“Poisoning the Well,” kata Polly, “dan berhentilah berteriak. Aku pikir berteriak juga sebuah kekeliruan.”
Dengan usaha yang luar biasa, aku mengatur suaraku. “Baiklah,” kataku. “Kamu adalah seorang yang logis. Mari kita nilai hal ini secara logis pula. Bagaimana mungkin kamu lebih memilih Petey Burch daripada aku? Lihatlah diriku – mahasiswa yang pintar, dengan intelektual yang dahsyat, seorang laki-laki dengan masa depan yang meyakinkan. Lihat Petey – dungu, suka hura-hura, seorang laki-laki yang tidak pernah tahu dari mana dia dapat memperoleh makanan. Dapatkah kamu memberiku satu alasan logis mengapa kamu harus berpacaran dengan Petey Burch?”
“Tentu bisa,” terang Polly. “Dia punya mantel raccoon.”

[1] Tikus besar

Tidak ada komentar: