Laman

Kamis, 27 November 2008

Membangun Sekolah Untuk Siapa?

Suatu hari saya mendapat surat undangan untuk menghadiri rapat wali murid di sekolah anak saya. Di surat undangan itu tertera maksud surat: membahas pembangunan gerbang sekolah. Di dalam surat itu juga dijelaskan bahwa materi yang akan dibahas ini sudah terlebih dahulu dibahas dan disetujui oleh rapat pendahuluan yang melibat para guru, kepala sekolah, dan komite sekolah.

Membaca surat undangan itu membuat saya teringat beberapa tahun yang lalu, ketika ide itu dilontarkan pada rapat wali murid, saya selalu menolak ide tentang pembangunan gerbang. Alasan saya adalah, gerbang yang bagus, tidak mempunya korelasi langsung ataupun tak langsung dengan kualitas pengajaran yang akan meningkatkan kualitas belajar anak, dan akan meningkatkan kualitas pendidikan secara makro. Saya katakan juga, sebagai orang tua, saya tidak berkeberatan mengeluarkan dana untuk insentif guru-guru, misalnya. Karena saya tahu ada beberapa orang guru yang masih status honorer. Dengan memberikan insentif lebih kepada guru dengan harapan, mereka akan lebih bersemangat mengajar.

Sekarang, surat undangan sudah saya terima. Saya bertanya-tanya: untuk siapa sebenarnya pembangunan gerbang sekolah itu? Apakah untuk prestasi siswa, atau hanya untuk prestige kepala sekolah atau guru-guru yang merupakan perpanjangan tangan pegawai dinas P & K?

Sudah menjadi pemandangan umum bahwa setiap Sekolah Dasar di Lombok Timur yang mendapatkan BOS dan bantuan dari ADB, memiliki gerbang-gerbang yang megah. Tapi kita tahu juga bahwa beberapa sekolah yang memiliki gerbang yang megah, dengan pavin block di seluruh halamannya, memulai belajar jam 9 pagi dan kerap pulang jam 11 pagi. Saya tidak naif mengatakan semua sekolah seperti itu, tetapi ada sekolah yang begitu. Untuk apa gerbang yang megah kalau tidak mengubah paradigma belajar dan mengajar di sekolah itu? Tidak membawa semangat perubahan sama sekali. Hanya kebanggaan mengatakan, "Saya memiliki gerbang sekolah yang megah." Saya juga tahu beberapa guru yang sekolahnya memiliki gerbang megah itu lebih memikirkan bisnis-bisnis sampingannya daripada memikirkan inovasi mengajar, karena tuntutan zaman tidak lagi mengizinkan guru ke sekolah "naik sepeda ontel" tanpa mendapat ejekan dari murid-muridnya yang naik motor merek dan type terbaru.

Saya mencoba melihat ke sekolah tempat saya bekerja, yang panitia PSBnya diperiksa kejaksaan, karena menerima siswa yang memaksa masuk bagaimanapun caranya. Entah bagaimana hasil pemeriksaan itu. Tapi yang mengejutkan adalah, pegawai kejaksaan yang memiliki bayaran yang jauh lebih tinggi dari para guru menganjurkan untuk mengurangi honor para guru. Haaaah? Ini bener-bener keblinger. Mereka tidak mempermasalahkan rencana pembangunan lapangan tenis yang saya tidak tahu untuk siapa dan untuk apa, kecuali kebanggaan mengatakan, " Hanya sekolahku di kota ini yang memiliki tennis court." Mereka mempermasalahkan honor satu bulan seorang guru yang jumlahnya masih lebih kecil jika dibandingkan SPPD mereka dengan jarak perjalanan 2 km.

Kembali kepada undangan itu, saya menghubungi beberapa teman wali murid meminta pendapat mereka tentang undangan itu. Jawabannya senada, “Untuk apa, Pak Guru? Kalau sudah ada gerbang yang memadai kenapa harus membangun yang megah? Kami ingin anak kami pintar. Kalau guru-guru butuh tambahan honor, kami tidak keberatan menambah beberapa rupiah. Tapi membangun gerbang? Anak-anak kami sudah biasa merunduk masuk ke dalam rumah karena gubuk kami berpintu sangat rendah.”

Well? Pembangunan sekolah untuk siapa dan untuk apa?

Tidak ada komentar: