Laman

Rabu, 26 November 2008

Cinta Adalah Sebuah Kekeliruan Logika

Sebuah Essay dari Max Shulman, dengan judul asli Love is a Fallacy, tentang kekeliruan logika bahasa. Patut dibaca bagi mereka yang ingin menjadi pengacara, guru, tukang debat, konsultan, dsb.
Diterjemahkan oleh Rasyid Ridho - guru Bahasa Inggris, SMAN 2 Selong.
Essay ini juga bisa dibaca dengan judul Love is Fallacy pada http://gururidho.multiply.com

Aku adalah orang yang tenang dan juga logis. Giat, penuh perhitungan, berpikiran tajam, teliti, dan cerdik – deskripsi seperti itu sangat tepat untukku. Otakku sama kuatnya dengan dynamo, selalu berputar, berpikir, juga sama telitinya dengan timbangan emas, dan tajam seperti pisau bedah. Dan – yang paling mengesankan adalah – usiaku baru 18 tahun. (Bayangin aja!)
Tidak banyak orang muda yang memiliki intelektual yang luar biasa. Sebut saja, sebagai contoh, Petey Burch, teman sekamarku di Universitas Minnesota. Kami sebaya, dengan latar belakang yang sama, tetapi dia dungu seperti lembu. Teman yang cukup baik sebenarnya, cuma tidak ada yang menonjol. Emosional. Labil. Mudah dipengaruhi. Yang paling buruk dari semua itu adalah, dia seorang pengikut mode. Pengikut mode, menurutku, adalah sebuah penafian logika yang sangat luar biasa. Terseret dalam semua kegilaan baru yang datang, menyerahkan diri pada sebuah ke-idiot-an hanya karena orang lain juga melakukannya. Hal ini menurutku adalah puncak ketololan. Tetapi tidak dengan Petey. Semua dia lakukan hanya supaya bisa dikatakan sebagai seorang pengikut mode.
Suatu sore, aku temukan Petey sedang berbaring di atas tempat tidurnya dengan ekspresi sedih di mukanya Aku segera men-diagnosa-nya sedang mengidap penyakit usus buntu.
“Jangan bergerak,” kataku. “Jangan minum pencahar. Aku akan memanggil dokter.”
“Raccoon. Raccoon[1],” mulutnya berkomat-kamit berkali-kali
“Raccoon?” tanyaku heran. Aku terdiam sejenak.
“Aku mau mantel raccoon,” dia meratap.
“Mau mantel raccoon?”
“Seharusnya aku sudah tahu dari dulu,” tangisnya, sambil memukul-mukul kedua pelipisnya. “Aku seharusnya sudah tahu bahwa mantel raccoon akan kembali menjadi mode ketika Charleston datang. Seperti orang gila, aku sudah menghabiskan semua uangku untuk membeli buku pelajaran, dan sekarang aku tidak bisa membeli sebuah mantel raccoon.”
“Maksudmu,” tanyaku dengan keheranan yang tidak masuk akal, ”bahwa orang-orang tersebut kembali memakai mantel raccoon lagi?”
“Semua mahasiswa populer di kampus memakai mantel raccoon. Kamu ke mana aja, sih?
“Ke perpustakaan,” kataku menyebut sebuah tempat yang jarang dikunjungi oleh mahasiswa populer di kampus.
Dia melompat dari tempat tidur dan menandak-nandak di dalam ruangan. “Aku harus memiliki sebuah mantel raccoon,” katanya dengan bernafsu. “Harus.”
“Petey, kenapa? Cobalah bersikap rasional. Mantel raccoon tidak higienis. Selain itu juga bulunya sering menempel dan jatuh di mana-mana. Bau, terlalu berat, tidak sedap dipandang. Mereka juga….”
“Kamu tidak mengerti,” interupsinya dengan tidak sabar. “Itu adalah hal yang harus didapatkan. Tidakkah kamu ingin berada dalam kelompok anak populer?”
“Tidak,” jawabku dengan sejujurnya.
“Yah. Tapi aku ingin,” ujarnya. “Aku akan mengorbankan apa saja asalkan aku bisa punya mantel raccoon. Apa saja.”
Otakku, yang merupakan instrument yang cermat, waspada. “Apa saja?” aku bertanya, sambil menatapnya dengan berminat.
“Apa saja,” katanya menegaskan.
Aku mengelus-elus daguku, menimbang-nimbang. Aku tahu di mana aku bisa mendapatkan sebuah mantel raccoon. Ketika Bapakku masih mahasiswa dulu, dia memilikinya, dan sekarang mantel itu masih teronggok di dalam peti di attic[2] belakang rumah. Aku juga tahu bahwa Petey memiliki sesuatu yang aku inginkan sebagai pertukarannya. Persisnya, dia tidak memilikinya, tapi paling tidak dia adalah prioritas pertama baginya. Yang kumaksudkan adalah pacarnya, Polly Espy.
Telah lama aku mendambakan Polly Espy. Aku ingin menegaskan bahwa hasratku pada gadis muda ini sesungguhnya tidak secara emotional. Dia, tentu saja, adalah gadis yang menyenangkan secara emosi, tetapi aku tidak akan membiarkan hatiku mengendalikan otakku. Aku ingin Polly untuk sebuah perhitungan yang lihai, sepenuhnya untuk alasan yang sudah aku pikirkan matang-matang.
Aku adalah seorang mahasiswa di sebuah sekolah hukum. Beberapa tahun ke depan aku akan menjadi seorang pengacara yang hebat dan membuka praktik. Aku sadar betapa pentingnya peranan seorang istri dalam menunjang karirku sebagai seorang pengacara. Pengacara sukses, menurut pengamatanku, hampir tanpa pengecualian, kawin dengan wanita yang cantik, anggun, dan pintar. Dengan penghapusan pada satu syarat, Polly tampaknya memenuhi spesifikasi ini dengan sempurna.
Dia cantik. Memang dia tidak seperti seorang model, tapi aku yakin, waktu akan bisa merubahnya menjadi demikian. Dia telah memiliki syarat-syarat untuk itu.
Dia anggun, penuh keanggunan. Badannya tegak, luwes, tenang, yang semuanya dengan jelas menunjukkan bahwa dia bisa memberi keturunan yang terbaik. Table manner[3]-nya sangat elok. Aku pernah melihatnya di Kozy Kampus Korner[4] sedang makan sandwich yang berisi potongan daging panggang, saus, kacang potong, dan semangkuk acar kubis, tanpa mengotori jarinya sedikitpun.
Dia memang tidak pintar. Pada kenyataannya, dia malah kebalikannya. Tetapi aku percaya bahwa dalam bimbinganku dia akan menjadi pintar. Paling tidak, aku merasa ini patut diusahakan. Dan sebenarnya, lebih mudah membikin seorang gadis cantik yang bodoh menjadi pintar daripada membuat gadis pintar yang jelek menjadi cantik.
“Petey,” kataku, “apakah kamu mencintai Polly Espy?
“Aku pikir dia anak yang menyenangkan,” jawabnya, “tapi aku tidak tahu apakah itu bisa disebut cinta. Kenapa?”
“Apakah kamu,” tanyaku lagi, “memiliki perjanjian resmi dengannya? Maksudku, apakah kamu berpacaran atau hal-hal semacam itu?”
“Tidak. Kami memang sering bertemu, tapi kami masing-masing punya pacar. Kenapa?”
“Apakah ada,” tanyaku lagi, “laki-laki lain yang dia sukai secara spesial?”
“Tidak. Setahuku tidak ada. Kenapa?”
Aku mengangguk-angguk dengan perasaan puas. “Dengan kata lain, jika kamu tidak ada, maka lapangan akan terbuka. Benar begitu?”
“Aku kira begitu. Tapi kamu ngomong apa, sih?”
“Tidak ada, tidak ada,” kataku dengan nada tidak bersalah, dan mengambil koperku keluar dari bawah tempat tidur.
“Kamu mau kemana?” tanya Petey.
“Pulang. Akhir pekan.” Aku memasukkan beberapa barang ke dalam koper.
“Dengar,” katanya, sambil mencengkeram tanganku dengan bergairah, “Kalau kamu pulang, berarti kamu bisa minta uang sama orang tuamu, kan? Pinjamkan uang itu padaku sehingga aku bisa membeli mantel raccoon. Mau, kan?”
“Aku mungkin bisa melakukan hal yang lebih baik,” kataku dengan mengedipkan mata secara misterius.

“Lihat,” kataku kepada Petey ketika aku kembali ke kos-kos-an pada Senin pagi. Aku membuka koperku dan mengeluarkan sebuah benda yang besar, berbulu, dan berbau busuk, yang pernah dipakai bapakku dulu ketika masih menjadi anggota geng Stutz Bearcat pada tahun 1925.
“Holy Toledo![5]” seru Petey dengan hormat. Dia merengkuh mantel raccoon itu kemudian membawanya ke mukanya. “Holy Toledo!” serunya berulang-ulang lima belas atau duapuluh kali.
“Mau?” tanyaku.
“Oh, tentu!” teriaknya, sambil mencengkeram kulit bulu itu dan membawanya ke dadanya. Kemudian tatapan licik terlihat di matanya. “Apa yang kamu inginkan untuk ini?”
“Gadismu,” kataku tanpa berbelit-belit. “Polly?” tanyanya dengan bisikan yang menakutkan.
“Benar.”
Dia melempar mantel itu. “Tidak akan,” katanya dengan keras.
Aku mengangkat bahu. “Okey. Jika kamu tidak mau dianggap populer, aku pikir itu adalah urusanmu.”
Aku kemudian duduk di kursi dan pura-pura membaca buku, tetapi melalui sudut mataku aku terus memperhatikan Petey. Dia kelihatan terluka. Pertama-tama dia melihat ke arah mantel itu dengan ekspresi seperti anak terlantar di toko roti. Kemudian di berpaling dan mengertakkan rahangnya dengan tegas. Kemudian dia kembali menatap mantel itu dengan ekspresi yang lebih merana lagi di mukanya. Kemudian dia berpaling, tapi kali ini tanpa ketegasan. Bolak balik kepalanya menggeleng-geleng –nafsunya menyala, ketegasannya semakin berkurang. Akhirnya dia tidak berpaling lagi sama sekali; dia hanya berdiri dan melotot dengan nafsu yang menggila pada mantel itu.
“Aku tidak mencintai Polly,” katanya dengan tegas. “Aku juga tidak berpacaran atau semacam itu dengannya.”
“Benar,” gumamku.
“Apa artinya Polly bagiku, atau apa artinya aku bagi Polly?”
“Tidak ada,” kataku.
“Kami hanya berteman biasa, ngobrol, ketawa-ketawa, hanya itu.”
“Cobalah mantel itu,” kataku.
Dia menurut. Mantel itu membungkusnya tinggi melebihi telinganya dan jatuh ke atas sepatunya. Dia kelihatan seperti gundukan bangkai raccoon. “Sangat cocok,” katanya dengan senang.
Aku bangun dari kursiku. “Is it a deal?” kataku, sambil mengulurkan tangan.
Dia menelan ludah. “It’s a deal,” katanya, dan menjabat tanganku.

(tobe continued)

[1] Dibaca / rakun/. Binatang seperti kucing. Kulitnya yang berbulu tebal bisa dipakai untuk membuat mantel
[2] Dibaca /aetik/ sebuah ruang kecil di bawah atap rumah, biasanya dipakai sebagai gudang atau kamar (loteng)
[3] Sikap ketika berada di meja makan
[4] Rumah makan dekat kampus di Minnesota University.
[5] Holy Toledo adalah kata seru yang biasa diucapkan ketika seseorang senang dan tidak bisa mengucapkan kata-kata. (artinya kira-kira: Puji Tuhan)

Tidak ada komentar: