Laman

Kamis, 02 April 2009

Ada berita yang menjadi perhatian the Guru pada penghujung bulan Maret ini, yakni permintaan untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan presiden Sudan, Omar al Bashir. Permintaan ini dilakukan oleh Luis Oreno Ocampo, Jaksa penuntut umum Pengadilan Kejahatan International (ICC -International Criminal Court). Surat perintah tersebut keluar karena al-Bashir dianggap bertanggung jawab melakukan pelanggaran HAM (5 tuduhan) dan kejahatan kemanusiaan (2 tuduhan). Tuduhan ini berkaitan dengan kerusuhan etnis di Darfur, Sudan Utara, sejak tahun 2004 s.d. 2007. Surat penangkapan ini tentu saja mengherankan para ahli hukum dunia karena dinilai sebagai hal yang sangat munafik, mengingat bahwa rakyat Darfur berunjuk rasa menentang surat perintah penahanan itu. Meskipun sebenarnya, al-Bashir tidak bisa ditangkap di dalam negeri Sudan, karena Sudan tidak meratifikasi Statuta Roma yang merupakan dasar berdirinya ICC, namun dia bisa ditangkap sewaktu-waktu di negara yang meratifikasinya. Dan jika al Bashir tidak keluar Sudan, Ocampo berniat mengajukan masalah ini ke DK PBB, dan hal ini sangat dimungkinkan karena organisasi yang berdiri tahun 2008, dengan keanggotaan sekarang berjumlah 108 negara ini, sejak awal berdirinya diharuskan untuk menjalin kerjasama dengan DK PBB.

Bandingkan dengan keinginan bebagai pihak yang ingin membawa pemimpin Israel ke pengadilan yang sama dengan tuduhan kejahatan perang yang mereka lakukan dalam perang 22 hari ( Desember 2008 s.d Januari 2009).

Israel telah dengan jelas melakukan pelanggaran berat HAM dan melakukan kejahatan perang. Mereka telah menggunakan bom fosfor putih yang jelas-jelas dilarang penggunaannya dalam perang, mereka telah melanggar konvensi Jenewa mengenai penyerangan terhadap rakyat dan fasilitas sipil, menutup perbatasan yang menghalangi hak sipil untuk mengungsi dari medan perang, dsb. Hal ini diungkapkan oleh para tentara yang terlibat dalam peperangan 22 hari itu dalam testimoni yang dilakukan dalam Kursus pramiliter Yitzhak Rabin di Aranim Academic College, Tivons, Israel Utara. Diberitakan bahwa testimoni itu sendiri dilakukan secara tertutup namun transkripnya berhasil diperoleh harian Israel Haaretz yang kemudian mempublikasikannya.

Sudah jelas penjahatnya "bernyanyi", tunggu apalagi? Seharusnya dunia bisa lebih adil dalam memperlakukan bangsa-bangsa dan ras seperti yang selalu didengungkan oleh para pengusung keadilan. Tapi mana buktinya? Amerika yang tidak meratifikasi ICC (bersama dengan Cina, India, Rusia, Amerika belum bergabung dengan ICC) mendorong penangkapan Omar al-Bashir, seperti yang diungkapkan oleh menlu Hillary Clinton, tapi diam pada kasus kejahatan Israel, malah cenderung membelanya, meskipun kejahatan itu diakui oleh pelakunya, dan dibuktikan sendiri oleh peninjau dari PBB.
Tatanan dunia apa sih yang sedang kita bangun?
Apa yang diharapkan oleh Amerika (pemerintahan Amerika)? Apakah standar ganda yang selalu dimainkannya sejak dulu kala akan terus berlanjut? Tidak ada perdamaian dunia kalau tidak ada keadilan yang sama untuk setiap bangsa dan ras.

Dan rakyat Amerika tentu saja sudah menyadari ini. Buktinya beberapa saat yang lalu, setelah perang yang dinilai oleh banyak pihak sebagai kekalahan Israel, New York Time mengeluarkan sebuah headline yang berjudul "Can Israel Survive?". Dengan dukungan yang tanpa batas dari Amerika dan sekutunya, seharusnya pertanyaan itu bisa dinilai sebagai sebuah gag, lelucon. Tapi tampaknya dengan menguatnya pengetahuan rakyat Amerika tentang Islam, yang dibuktikan dengan jumlah muallaf yang dari ke hari selalu meningkat, dan kesadaran mereka tentang kebijakan pemerintah yang keliru tentang Israel, maka sudah pada tempatnya pertanyaan itu diajukan, yang pada ujungnya menggugat: untuk apa Amerika berkorban harta benda sampai krismon, mengorbankan rakyatnya sendiri sampoai banyak yang mati, hanya untuk membela penjahat seperti Israel?

Sudah saatnya Amerika tahu bahwa musuh mereka yang sebenarnya bukan Islam, seperti retorik yang diajukan oleh mantan presiden Islamophobic berdarah mereka, G. W. Bush, karena Islam adalah ideologi yang sejalan dengan demokrasi, bahkan lebih baik. Justru yang harus mereka waspadai adalah Israel yang memiliki tujuan untuk menguasai dunia dan menganggap manusia lain selain Israel tidak lebih berharga dari Babi.
Jadi tidak heran kemudian Newsweek terbitan New York pada bulan Pebruari lalu memuat pada cover depannya berita dalam bahasa Arab dengan tulisan Arab yang berjudul, Al Islam al Radiikally Hakiikatu min Haqaiq al Hayya, Kaifa Nata'aaysy maa'ah (Radical Islam is Fact of Life, How We Can Live with It). Meskipun pada dasarnya the GURU tidak setuju dengan pembagian Islam menjadi radikal, moderat, liberal, garis keras, etc. tapi dengan pemuatan berita itu saya harap bisa menggugah rakyat Amerika bahwa sudah saatnya mereka memikirkan bagaimana berdampingan dengan Islam, agama yang mengutamakan perdamaian, seperti namanya, sehingga kita bisa hidup bersama dengan damai tidak hanya di bumi, tapi juga di akhirat. Insya Allah.

Tidak ada komentar: