Laman

Sabtu, 25 April 2009

Ujian Nasional

Selama dua minggu saya tidak mengupdate blog saya karena kesibukan yang luar biasa menjadi panitia kabupaten Ujian Nasional tingkat SMA. Ujian Nasional untuk SMA telah usai dan dilanjutkan dengan Ujian Nasional untuk SMP. Meskipun sekarang ini saya sangat capek, tapi saya sempatkan juga untuk posting karena saya merasa sudah terlalu lama tidak melakukannya.

Kali ini saya ingin membicarakan fenomena Ujian Nasional. Ancaman "gagal dalam seminggu"akibat tidak memenuhi standar UN 5,5 untuk tahun 2009 ini, menyebabkan begitu banyak persoalan. Baik yang bersifat teknis seperti pencetakan, pengiriman soal, distribusi ke sekolah-sekolah, yang semuanya melibatkan polisi, tim pemantau Independent, pihak perguruan tinggi, dan sederet pihak, yang kabarnya bisa menjamin hasil UN yang "murni".

Meskipun saya setuju dengan pemurnian hasil UN, namun pelibatan banyak pihak, menurut saya, lebih banyak menghabiskan dana daripada pencapaian hasil yang dimaksudkan. Bahkan kemudian keterlibatan pihak-pihak ini menyebabkan kesulitan yang banyak.

Dan yang terparah adalah, pelaksanaan Ujian Nasional menjadi kaku dan terkesan tidak educative centrum.
Beberapa hal yang menjadi catatan the Guru adalah:
  1. Kehadiran polisi berseragam di lokasi ujian telah menyebabkan tekanan psikologis yang tinggi bagi siswa yang menyebabkan hasil UN menjadi tidak murni, karena mengerjakan soal di bawah tekanan tentu saja berbeda hasilnya apabila itu dilakukan dengan lebih santai.
  2. Kehadiran team independent kabupaten, propinsi, dan universitas di lokasi ujian lebih banyak merepotkan daripada membantu. Kehadiran mereka sama sekali tidak menyelesaikan masalah non-teknis. Misalnya, anggota team tidak memantau apakah pengawas ruangan sudah melakukan prosedur yang benar dalam memasukkan Lembar Jawaban ke dalam sampul lembar jawaban sebelum disegel. Banyak kasus sekolah yang pengawas ruangan tidak memeriksa kembali apakah ada jawaban siswa yang tertinggal, dan kehadiran anggota team yang banyak itu tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap kesalahan fatal seperti itu.
  3. Kehadiran anggota team yang banyak itu tidak menyelesaikan masalah non teknis lain, seperti misalnya, ketika ada lembar jawaban yang kena lem akibat kesalahan pengawas ruangan. Seandainya mereka bersepakat untuk mengganti lembar jawaban dengan menjiplak jawaban yang sudah dibuat siswa dengan pengawasan dari team independent, polisi, pengawas kabupaten, dan sebagainya, itu tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap tujuan dari kehadiran team-team ini ke sekolah. Karena yang ujian telah dilakukan oleh siswa, tapi masalahnya ada pada pengawas ruangan. Ke manakah hati nurani dalam hal ini?
  4. Pihak perguruan tinggi yang terlibat juga seperti robot saja. Tidak fleksibel dalam pelaksanaan, tidak mempertimbangkan faktor psikologis, dan humanity. Semuanya dinilai secara mesin dan bekerja juga sepeti mesin.

Dari hasil pantauan the Guru itu, terlihat bahwa Ujian Nasional adalah alat untuk menakut-nakuti para pendidik dan siswa (kasus Bengkulu, ada 16 orang kepala sekolah ditangkap polisi, dan menjadi berita utama yang lebih heboh dari kasus korupsi trilliunan rupiah) . Tetapi apakah langkah-langkah seperti itu menjamin tercapainya salah satu tujuan pendidikan nasional yakni menciptakan manusia yang menguasai teknologi, beriman, dan bertaqwa?
Yang terjadi adalah: siswa hanya belajar untuk lulus ujian. Bukan belajar untuk tahu, menguasai, dan mengamalkan.

.


2 komentar:

dodol.. mengatakan...

nyontek kan udah jadi kebiasaan guru, tetapi salah juga sih kalo nyontek bagai mahasiswa pingin jadi kepala dinas.... ya jelas harus nyontek.....

the Guru mengatakan...

nah itulah masalagnya. setiap orang punya target sendiri-sendiri, dan kadang orang tersebut tidak peduli asal bisa mencapai target.